Siang itu, Bian menatap Arsyad penuh curiga. Meski sebenarnya tak tega melihat kaki kiri dan tangan kanannya patah, sehingga dipasang gips penyangga.
"Apa kau sadar tindakanmu itu?"
"Iya aku tahu konsekuensinya."
"Lalu kenapa kau lakukan juga."
"Setidaknya aku harus melakukan sesuatu untuk ayahmu."
"Mengapa kau harus melakukannya. Sementara dia tidak memedulikanmu sama sekali."
"Kau itu tidak mengenal ayahmu Bian. Dia bukannya tidak peduli padaku. Dia justru tahu apa yang aku mau."
"Maksudmu?"
"Ayahmu tahu, mengapa aku melakukannya."
"Dia tahu?" dahi Bian berkernyit.
"Hem."
"Perusahaan ayahmu saat ini sedang mengalami krisis Bian. Jika dia tidak mendapatkan pinjaman dari bank. Kemungkinan besar beberapa bulan ke depan. Perusahaan ayahmu akan benar-benar bangkrut. Seluruh pegawai sudah dipastikan akan kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran."
"Untuk menghindari itu, ayahmu meminjam uang kepada bank. Tapi pria itu tidak memberikan persetujuannya. Padahal semua jajaran di bawahnya sudah memberikan persetujuan. Mengingat pentingnya perusahaan dan para pegawai. Ayahmu bahkan harus bertindak kotor. Dengan memberikan uang suap padanya. Seperti yang kau lihat tadi di rumah makan. Tapi pria itu menolak mentah-mentah."
"Aku benar-benar tidak tega. Melihat ayahmu begitu frustrasi. Tidak seperti biasanya. Dia yang selalu tampak gagah dan berwibawa dimataku. Hari ini terlihat seperti pengemis yang meminta-minta bantuan."
"Singkatnya Bian setelah melihat ayahmu seperti itu. Terlintas begitu saja pikiran untuk melenyapkan pria itu. Dan ternyata aku sanggup melakukannya," ujar Arsyad.
Bian menyeka wajah dengan tangan mendengar penjelasan Arsyad.
"Kau tahu ini adalah tindakkan pembunuhan?"