Sore itu, Bian berjalan gontai, seperti manusia tanpa rasa. Tatapannya kosong menatap bayangan hitam pada aspal jalan. Dia terus bergumam pada bayangannya sendiri. Tentang apa yang menjadi ketakutan dan kecurigaannya. Ternyata benar adanya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang. Dibenarkankah jika aku bungkam. Dibenarkankah jika aku diam," gumam Bian perlahan.
Bian sebenarnya tahu bahwa kejahatan yang mengatasnamakan kebaikan. Tetaplah kejahatan dan harus diungkapkan. Tapi Bian berpikir kembali dan mengurungkan niatnya itu. Bukan karena takut pada ayah atau takut perusahaannya hancur. Mengekspos kasus Arsyad. Otomatis semua orang akan tahu. Apa hubungan Arsyad, ayahnya dan tentu dirinya. Dan lambat laun informasi itu akan Kirana dengar.
Bian tak bisa membayangkan jika Kirana sampai tahu yang sebenarnya. Sudah pasti dia akan membenci dan menjauhi dirinya. Sementara kenyataan yang dihadapi Kirana adalah hidup sebatang kara. Bian tak bisa mengabaikan itu.
Kirana akan hidup sendirian tanpa ada yang menemani. Selain dirinya dan Bi Siti seorang. Kenyataan itulah yang menjadi ganjalan berat dihati Bian. Yang pada akhirnya dia memutuskan untuk menyembunyikan kebenaran dan memilih bungkam.
Sebelum Bian menekan bel rumah Kirana. Bian merubah ekspresi wajah, supaya tidak terlihat gusar oleh Bi Siti dan Kirana.
"Eh den Bian," sapa Bi Siti.
"Sore Bi. Bagaimana Kirana sudah baikkan?" tanya Bian.
"Tuh, dari tadi cuma duduk di balkon."
Jari telunjuk Bi Siti menunjuk Kirana yang sedang menatap langit senja. Tapi kali ini Kirana termenung di balkon kamar kedua orang tuanya.
"Ya sudah Bian ke atas ya Bi."
"Den Bian sudah makan?" Bi Siti bertanya dan otomatis menghentikan langkah Bian dan kembali berbalik.
"Sudah, tadi Bian pulang ke rumah dulu Bi," Bian berbohong.
"Ibu Clara tidak marah, kalau den Bian kemarin menginap di sini?" tanya Bi Siti hati-hati.
"Santai saja Bi. Bunda malah senang Bian bisa membantu Kirana. Bian juga sudah minta ijin, kalau beberapa hari ini Bian akan menemani Kirana. Malam hari, Bian akan menginap di sini. Lantas subuh-subuh Bian pulang ke rumah. Baru pergi ke sekolah dari sana," penjelasan Bian.
"Kenapa enggak langsung pergi ke sekolah dari sini saja den?" tanya Bi Siti heran.
"Ayah Bian tidak tahu, kalau Bian menginap di sini. Seandainya dia sampai tahu. Bisa gempar dunia persilatan Bi," Bian bergidik.
"Oh begitu. Terus den Bian bagaimana masuk ke rumah nanti subuh?. Memang tidak akan ketahuan sama ayah den Bian?" tanya Bi Siti.
"Bian punya jalan rahasia untuk masuk ke rumah diam-diam," Bian nyengir di hadapan bi Siti.
Bi Siti geleng-geleng kepala.
"Memang bapak den Bian galak banget ya?" tanya bi Siti lagi.
"Ya begitu deh Bi. Kaya singa" kedua tangan Bian membentuk cakaran singa.
"Kenapa enggak jujur saja?"
"Ayah Bian itu pikirannya kolot. Bisa murka kalau tahu menginap di rumah gadis. Beuh kalau dia sudah marah Bi. Hancur."
Bi Siti mangut-mangut.
"Terus bagaimana kalau sampai ketahuan."
"Gampang itu mah. Bisa diatur Bi," Bian menjentikkan jarinya.
"Paling di tempeleng," gumam hati Bian sambil tersenyum pada Bi Siti.
"Syukurlah. Bibi sebenarnya tidak enak sama den Bian. Tapi melihat kondisi non Kirana sekarang. Dia pasti butuh teman,” ujar Bi Siti.
"Bian paham. Jadi tenang saja Bi," Bian menepuk halus pundak Bi Siti.
"Kamu memang anak baik den," Bi Siti tersenyum lega.
"Ya sudah. Bian ke atasnya." Bian berbalik dan hendak melangkah.