Unexpected

Yeni fitriyani
Chapter #18

Pembawa Kebahagiaan

"Haloo bidadariku," Bian nyengir sambil melambaikan tangan pada Kirana.

"Halo Bian," jawab Kirana pelan.

"Kok cemberut. Jangan kebanyakan melamun. Nanti kesambet." 

Kirana diam saja. Dengan sudut mata Kirana melihat Bian duduk di samping dan meletakan satu bungkusan di atas meja. 

"Kamu sudah makan belum?" Bian mencondongkan tubuh pada Kirana. Ujung lancip hidung keduanya nyaris saja bersentuhan.

"Euh," Kirana terkejut, merasakan hawa hangat tubuh Bian. Spontan Kirana menoyor kening Bian, supaya duduk di kursinya.

"Sudah makan belum?" tanya Bian lagi. 

"Sudah," sahut Kirana seadanya. 

"Bohong," Bian menyipitkan mata, tidak percaya. 

"Sudah tadi sedikit," Kirana kembali menatap langit.

"Aku bawa sesuatu buat kamu," Bian membuka bungkusan.

"Apa?" Kirana melirik bungkusan berbau sedap itu.

"Tebak dong." 

 "Malas."

"Hem. menebak saja malas. Apalagi harus beli. Tebak dong Kirana biar seru."

"Siapa suruh beli."

"Ih kejamnya. Aku itu sudah susah-susah beli buat kamu. Masa kamu bilang gitu."

"Iya. Iya. Maaf."

"Makanya tebak dong," Bian terus memaksa Kirana. 

Kirana menghela nafas panjang, karena saat itu dia sedang malas berpikir. Tapi mengetahui sifat Bian yang pantang menyerah. Bian pasti terus mengganggu, sampai dia benar-benar menebaknya.

"Batagor," Kirana asal menebak. 

"Salah," Bian geleng-geleng kepala.

"Siomay."

"Salah," Bian mengerakkan jari telunjuk ke kiri dan kenan.

"Cepat kasih tahu Bian," Kirana melotot padanya. 

"Baru gitu saja sudah menyerah. Tebak lagi."

"Bakso."

"Salah."

"Kerak telur."

"Salah."

"Bian," Kirana menatap tajam sambil mengacungkan vas bunga ke hadapan Bian. 

"Iya. Iya. Aku kasih tahu deh. Jangan marah gitu dong," Bian bergidik melihat amarah Kirana. 

"Taaaaaraaaa. Nih aku bawa cilok sama seblak," Bian menunjukkan dua makanan itu.

"Waaah," seketika mata Kirana membulat, melihat dua jajanan yang selalu dibelinya sepulang sekolah. Kirana mengembalikan vas bunga pada tempatnya. Lalu menyambar bungkusan itu.

"Kamu kok tahu, kalau aku suka ini?" tanya Kirana pada Bian. 

"Sembilan puluh sembilan persen cewek Bandung itu. Suka banget sama dua makanan ini. Jadi bukan sesuatu yang istimewa," Bian membusuhkan dada pada Kirana. 

Kirana mangut-mangut. "Benar juga. Tidak ada cewek di Bandung yang tidak suka jajanan ini," gumam hatinya. 

"Cilok cilok cilok," racau Kirana. 

Kirana menusuk satu cilok besar dan langsung memasukkannya utuh-utuh ke dalam mulut. Pipi kanan Kirana seketika mengembung persis ikan buntal.

"Peet...Peeet," Bian menahan tawa, melihat gadis di hadapannya begitu bahagia hanya dengan dua jajanan ini. Dia tampak antusias seperti anak kecil yang menggemaskan.

"Inyi eyak bagek ian. huuppp ajuh payas," (Ini enak banget Bian. Aduh. Panas). Kirana mengipas-ngipas mulutnya yang kepanasan.

Bian mangut-mangut, kemudian ikut memasukkan cilok besar ke dalam mulutnya. "Iya, eyak huuuppp huuupp payas." (Iya enak. Huuupppp panas). Mata Bian berlinang menahan panas dimulutnya. 

****

Setelah mereka menghabiskan seluruh cilok. Keduanya berlanjut pada seblak super pedas, yang konon katanya bisa membakar mulut dengan hebat. 

"Kamu suka seblak?" Kirana meragukan Bian.

"Suka," Bian mangut-mangut percaya diri. 

"Katanya ini pedas banget loh." 

"Ah sepele," Bian berdecak sambil menjentikkan jari. 

"Oh. Ok. Yuk kita makan."

Bian mulai menyendok seblak dengan percaya diri. Satu suapan, dua suapan dan duuuuuuarrrr. Bian mengipas-ngipas mulutnya, tak henti mangap-mangap persis ikan kekurangan air. Dengan kecepatan cahaya, Bian beranjak dari duduknya dan berlari ke dapur untuk mengambil air dingin di dalam kulkas. Bian bahkan hampir menubruk tubuh bi Siti yang sedang membereskan ruang keluarga. 

Di saat Bian gedebak-gedebuk kepedasan. Kirana dengan santainya menyeruput kuah seblak berwarna merah pekat itu. Kirana tidak terlihat kepedasan sama sekali, karena dia memang pencinta makanan-makanan pedas. Teman-teman di kelas bahkan menjulukinya si cabe, saking sukanya sama makanan yang super duper pedas. Di sekolah tidak ada satu siswapun yang sanggup menandingi Kirana dalam hal ini. 

Bruakkkk.

Kirana terkejut mendengar suara pintu kamar terbuka dengan keras. Ternyata Bian sengaja menubrukkan tubuh untuk membuka pintu kamar, karena kedua tangannya sibuk membawa teko dan dua gelas. Bian menuangkan air ke dalam gelas sampai penuh. Kemudian meneguk air dingin itu hingga tetesan terakhir di gelasnya.

"Kamu nggak kepedasan?" tanya Bian sambil mangap-mangap. Wajahnya memerah seperti cepot salah satu tokoh pewayangan.

"Ini mah nggak ada pedas-pedas ya," sahut Kirana tenang.

"He....bat....ya....Ka....mu," Bian melet-melet menahan pedas.

Kirana terkekeh melihat ekspresi Bian yang super kocak. 

"Nah gitu dong ketawa," ujar Bian, mulutnya masih mangap-mangap menyedot udara sebanyak mungkin ke dalam mulut, untuk mengurangi pedas yang membakar mulutnya.

"Bian. Bian. Kamu itu lucu." Kirana menggelengkan kepala. 

"Benar. Aku itu memang lucu, ganteng dan baik hati. Kaya peri," lagi-lagi kepedean yang naudzubilah itu muncul ke permukaan. 

Lihat selengkapnya