Seminggu setelah kepergian semua anggota keluarga. Kirana akhirnya memutuskan untuk kembali bersekolah. Berdiam diri dirumah hanya membuatnya larut dalam kesedihan. Dan semakin terpuruk dalam duka yang tak bertepi.
Semua hal yang ada di rumah mengingatkannya pada kenangan-kenangan indah bersama ayah, mamah dan adik kecilnya. Bahkan hanya dengan memandangi foto. Bayangan mereka berkelebatan di sudut ruangan, seakan menjelma nyata tertangkap oleh mata. Garis senyum di wajah mereka, bahkan tampak seakan nyata. Menampakkan diri dalam sebuah bayangan.
Pagi itu, Kirana sempat tertegun cukup lama. Teringat pada satu kenangan yang menjadi rutinitasnya selama ini. Setiap pagi, suara lembut mamahnya-lah yang menjadi alarm, acap kali membangunkannya. Selain itu, mamah juga lah yang selalu menyiapkan sarapan dan baju seragam yang akan dia kenakan. Namun pagi ini, untuk pertama kali dihidupnya. Kirana mempersiapkan segalanya sendirian.
Setelah mereka tiada. Kirana baru tersadar bahwa selama ini dirinya benar-benar bersikap egois. Untuk hal sepele yang anak lain bisa lakukan sendiri. Dia masih bergantung pada mamahnya. Kirana bisa bayangkan betapa besar dan begitu tulus cinta mamahnya. Meski lelah mendera raga. Dia tak pernah melihat mamahnya sekalipun mengeluh. Mungkin inilah yang dinamakan pengorbanan seorang ibu. Seorang manusia yang mencintai manusia lainnya dengan tulus dan tanpa pamrih.
Pagi itu, setelah selesai menjalankan Shalat subuh. Kirana mendapatkan suatu pencerahan dalam batinnya. Kirana bertekad untuk kembali beraktivitas, menjalankan kehidupan normalnya lagi. Bukan maksud hati melupakan semua kenangan. Tapi semua yang dikatakan Bian, benar adanya. Mamah, ayah dan Kinan akan bersedih jika dirinya terus terpuruk. Dan demi ketenteraman dan kedamaian keluarganya. Dia akan berusaha untuk berbahagia.
"Benar, aku akan kembali hidup bahagia mulai hari ini," gumam Kirana dalam hati sambil menatap cermin.
****
Bi Siti melirik suara derap langkah seseorang dari lantai dua. Matanya membulat, begitu melihat Kirana berseragam lengkap pagi itu. Setengah berlari Bi Siti menyambut Kirana dengan senyum semringahnya.
"Non mau sekolah?" Bi Siti memeluk dan menepuk-nepuk punggung Kirana.
"Iya Bi," Kirana mengangguk dalam dekapan Bi Siti.
"Bibi senang kalau non sudah baikkan. Bibi tahu non Kirana mah gadis kuat."
"Iya Bi. Kan ada Bi Siti yang menemani," ujar Kirana sambil tersenyum renyah.
"Sekarang ada den Bian juga," Bi Siti tersenyum jahil.
"Ih Bi Siti nakal," Kirana bergidik sambil mencubit pinggang Bi Siti.
Tadi malam, Kirana menyuruh Bian untuk pulang ke rumahnya, karena tidak enak, jika Bian terus-terusan menginap. Kirana takut jika orang akan berpikiran buruk tentangnya. Semalam mereka sempat bersitegang. Tapi setelah Kirana mengatakan akan bersekolah dan berjanji tidak akan sedih lagi. Bian akhirnya bersedia pulang.
Di tengah pembicaraan Bi Siti dan Kirana. Bel rumah berbunyi nyaring.
"Tuh yang diomongin datang," ujar Bi Siti.
"Sssstttt. Bi Siti jangan nakal di hadapan Bian. Malu," Kirana menutup mulut Bi Siti dengan jari telunjuknya.
"Santai non. Rahasia aman terjaga," Bi Siti menresleting mulutnya sendiri.
"Ya sudah Bi Siti bukakan dulu pintunya ya," lanjutnya.
"Enggak usah Bi. Kirana langsung pergi saja."
"Eh masa enggak sarapan."
"Nanti saja di sekolah Bi."
"Enggak boleh begitu ah. Bibi siapkan bekel. Cuma sebentar kok non. Tunggu ya", Bi Siti melesat ke dapur mengacuhkan apa yang akan Kirana katakan.
"Engg... "
Kirana yang tadinya mau langsung pergi. Terpaksa harus menunggu. Kirana kemudian melangkah membuka pintu gerbang.
"Haloooo cantik," Bian melambaikan tangan di atas motor gedenya.
"Apaan sih. Pagi-pagi sudah menggombal."
"Ini pujian, bukan gombalan. Tolong bedakan," Bian berbicara dengan penuh penekanan, ditambah acungan jari telunjuk, yang memetakan perbedaan itu.
"Iya. Iya. Sebentar ya. Bi Siti lagi siapkan bekel. Padahal tadi aku mau langsung pergi."
"Ih bagus itu. Kebetulan aku belum sarapan. Kalau kamu enggak mau. Aku siap kok menampung bekel dari Bi Siti," Bian nyengir sambil menepuk-nepuk perutnya.
"Hem," Kirana geleng-geleng kepala.
Tak lama Bi Siti datang membawa bekel untuk warga se RT.
"Banyak banget Bi?" Kirana mengerutkan dahinya.
"Ada jatah den Bian juga," Bi Siti mengerlingkan mata pada Bian.
"Bi Siti memang The Best Forever lah," Bian mengacungkan dua jempol.
"Bi Siti begitu loh," Bi Siti tersenyum.
Kirana geleng-geleng kepala, melihat tingkah dua orang ini.
"Kirana dan Bian pamit ya Bi," Kirana naik ke motor Bian dan melambaikan tangan pada Bi Siti.
"Hati-hati non."
****
Di ambang pintu, Bian dan Kirana menghentikan langkah. Mata keduanya terbelalak, dikejutkan oleh ledakan sorak sorai teman-teman sekelas, melihat mereka datang bersamaan.
"Kirana kamu akhirnya sekolah,” Laras memeluk Kirana.
"Iya Laras."
"Syukurlah kalau kamu sudah lebih baik."
"Terima kasih semuanya."
Teman-teman perempuan Kirana satu per satu memeluknya. Sedangkan teman-teman pria menjabat tangan Kirana untuk menyemangati. Mereka tiba-tiba membuat barisan laiknya acara silaturahmi saat lebaran.
Airmata mengembeng di mata Kirana. Terharu melihat betapa peduli teman-teman sekelas padanya. Sementara Bian bersikap canggung di belakang Kirana. Karena beberapa siswa mengerlingkan mata padanya. Mereka pasti sudah menyadari ada hubungan spesial yang terjalin diantara dirinya dan Kirana.
Dalam hiruk pikuk itu, tanpa sepengetahuan mereka. Pak Anto berkacak pinggang mengawasi mereka dari kejauhan. Bak hantu disiang bolong, tanpa suara dan derap langkah. Pak Anto tiba-tiba saja merangkul leher Bian dari belakang. Membuat tubuhnya tersentak hebat.
"Ehhh. Bangke," Bian melirik pada seseorang yang merangkul lehernya tiba-tiba. Mata Bian melotot hampir keluar dari tempurung kepalanya.
"Bangke," Pak Anto memukul kepala Bian.
"Maaf pak." ujar Bian.
Semua siswa serentak melirik dan seketika antrean panjang itu bubar jalan. Para siswa berhamburan ke kursinya masing-masing, termasuk Kirana yang juga ikut berlari ke bangkunya. Kirana bahkan sempat melupakan keberadaan Bian. Karena pak Anto itu terkenal sebagai guru killer di sekolahnya.
"Kamu jangan duduk dulu. Berdiri di depan Bian," perintah pak Anto.
Bian celingukan di depan kelas. "Apa salah saya pak?" tanya Bian.
"Kamu tidak bersalah apa-apa."