Ujian akhir nasional akhirnya selesai. Seluruh siswa yang telah mengerjakan ujian mata pelajaran terakhir, satu per satu meninggalkan kelas dengan perasaan lega. Seluruh beban seakan-akan diangkat dari pundak mereka.
Yeeeeeaaaa.
Bian berteriak kencang begitu kakinya melangkah keluar pintu kelas.
Huuuuuuuh.
Teriak teman-teman yang iri sekaligus panik, karena mereka belum juga selesai mengerjakan, sedangkan waktu kian mepet.
"Berisik," ujar guru pengawas dari dalam kelas yang tak lain adalah pak Anto si guru olah raga.
Bian terkejut mendapati respon riuh dari teman-temannya. Dia tersenyum, lalu merunduk dan buru-buru melengos menjauh dari kelas takut diomelin pak Anto yang suka berceramah.
Kirana yang telah lebih dahulu keluar kelas tertawa melihat kegaduhan yang dibuat Bian.
"Bocah iseng banget," ujar Kirana.
Bian mengedarkan pandangan dan menemukan Kirana sedang melambaikan tangan padanya. Bian berlari cepat mendekati Kirana yang duduk di bangku taman, lalu merengkuh pundaknya dengan ketat.
"Selesai Kirana. Aku bisa menjawab semuanya loohh," ujar Bian, lalu tertawa lepas.
Garis tawa Bian terlihat begitu jelas membuat Kirana menahan tawa. Terlihat sangat menggemaskan.
"Siapa dulu dong gurunya," ujar Kirana seraya membusungkan dada.
Bian mencubit pipi Kirana gemas. "Terima kasih ibu guru cantik."
Bian segera duduk di sebelah Kirana. Lantas memutar tubuh si gadis kesisi lain.
"Aku pinjam punggungmu sebentar Kirana," pinta Bian.
Keduanya menempelkan punggung dan duduk saling memunggungi satu sama lain.
“Pejamkan mata deh Kirana," perintah Bian.
Hem.
Kirana mengangguk mengikuti saja katanya. Kedua mata perlahan terpejam merasakan angin berembus di area taman. Desir angin mengalun ringan membelai dedaunan di atas dahan pohon terdengar begitu syahdu di telinga.
"Leganya," ujar Bian.
Dada terasa lapang, otak terasa mengembang setelah beberapa bulan ini menciut berjuang cukup keras. Siang, sore bahkan malam tak henti-henti menghafal dan belajar untuk menghadapi ujian nasional, serta untuk persiapan masuk ke perguruan tinggi yang sudah di rencanakan.
Kini perjuangan mereka telah selesai satu langkah. Meski sebenarnya akan ada langkah-langkah berikutnya yang lebih rumit dan berat. Tapi setidaknya saat ini mereka sudah meninggalkan satu jejak di belakang. Kiranya tinggal melanjutkan perjuang ke depan.
"Benar, seluruh beban seakan terangkat dari pundak dihempas angin sejuk ini," ujar Kirana seraya memutar tubuh, hingga Bian kini bersender di satu pundaknya. Kirana mencondongkan sedikit tubuh ke depan dan melihat sisi wajah Bian yang masih memejamkan kedua matanya.
"Sekarang tinggal menunggu hasilnya."
"Benar."
"Tau tidak Kirana menunggu hasil itu adalah hal yang paling deg-degan. Detik-detik menunggu sangat lah menyiksa. Perut otomatis akan terasa mulas kaya mau boker. Tapi tidak ada yang mau keluar," ujar Bian.
Kirana tertawa lepas mendengar perumpamaan Bian.
"Dasar kamu itu," ujar Kirana.
"Hehe. Kamu juga pasti gitu kan? Jangan bilang tidak, karena aku tidak akan percaya," tanya Bian.
Keadaan tiba-tiba hening kaya di kuburan, tak ada jawaban sama sekali dari Kirana yang ternyata saat itu terlarut dalam ilusi matanya sendiri. Kirana tampak takjub memandangi pria blasteran yang telah menjadi kekasih hatinya. Bisa dibayangkanlah ya bagaimana bentukan orang blasteran itu. Mereka sudah pasti tinggi, putih dan mancung kaya orang bule. Sama halnya dengan Bian. Selain di karunia ketiga hal itu. Bian juga menerima gift lain dari Tuhan yakni manik mata hijau yang kemilau yang berhasil membuat Kirana si cewe biasa terpikat dan jatuh hati padanya.
Bian segera membuka mata, lantas menggelengkan kepala menyadari keterpesonaan Kirana padanya. Bian mendekatkan wajah untuk menyadarkan gadis di sampingnya itu.
"Eeeh....ehhh," tubuh Kirana terhenyak. Kesadarannya pun kembali saat Bian menarik pucuk hidungnya ke atas.
Bian tertawa terbahak-bahak.
"Ih dasar jahil," ujar Kirana cemberut.
"Busyet. Lubang hidung kamu gede banget ternyata," goda Bian.
Kirana memukul pundak Bian dengan keras.
"Awwwww." Bian menegakkan tubuh sambil mengelus bekas hantaman Kirana yang terasa panas.
"Bian berhubung ujian sudah selesai. Aku mau menagih janji sama kamu."
Kirana cepat-cepat mengalihkan topik pembicaraan sebelum Bian terlanjur besar kepala, karena keterpanaannya tadi.
"Janji?" mata Bian berputar mengingat-ingat janji yang diikrarkan pada Kirana.
"Hem pura-pura lupa," Kirana cemberut.
"Serius aku lupa. Janji yang mana."
"Itu loh. Katanya mau mengajak ke Bosca lihat bintang di langit pakai teropong," Kirana mengguncang tangan Bian.
"Oh yang itu. Siap. Tapi jangan sekarang dong. Nanti setelah pengumuman kelulusan keluar."
"Ko nanti?"
"Untuk pergi ke sana itu harus daftar dulu, kalau kamu mau mencoba meneropong secara langsung, karena ada jadwalnya sendiri. Tapi kalau kamu cuma mau mendengarkan penjelasan tentang astronomi saja. Kita bisa pergi sekarang."
"Oh begitu toh. Terus kamu sudah datar atau belum? Aku mau ya meneropong langsung."
"Aku sudah daftar. Tapi bukan untuk hari ini."
"Terus kapan?"
"Rahasia."
"Dih pakai rahasia-rahasian segala," Kirana mencubit pinggang Bian. Membuatnya menggeliat seperti ulat.
****
Hari ini adalah hari yang paling menegangkan bagi seluruh siswa se-Indonesia raya, karena nasib mereka di pertaruhkan oleh sepucuk surat yang berisikan pengumuman kelulusan. Apakah siswa dinyatakan lulus atau harus mengulang kembali satu tahun di SMA. Hem membayangkan harus mengulang satu tahun pelajaran, seketika bulu kuduk berdiri dengan sempurna.
Kirana mundar-mandir di teras rumah menunggu seseorang berseragam oranye mengetuk pintu dan menyerahkan surat kelulusan tersebut. Kirana memukul-mukul Hp ke telapak tangan saking cemasnya.
Di sela keresahan yang bergelut di hati, tiba-tiba HP-nya berdering.
"Halo Bian."
"Aku sudah menerima suratnya Kirana."
"Terus bagaimana?"
"Hemmmm," suara Bian terdengar parau seperti habis menangis.
"Jangan-jangan Bian tidak lulus," gumam Kirana dalam hati.
"Bian sabar dulu. Tenang. Coba kamu tarik nafas dalam-dalam," Kirana berusaha menenangkan Bian dari kemungkinan terburuk.
"Aku lulus," Bian bersorak lalu tertawa di ujung telepon.
Kirana dian hanya merekatkan gigi karena kesal.
"Kirana halo Kirana. Kamu kok diam saja. Kamu masih di sana. Kamu marah ya," suara Bian terdengar jelas, meski Kirana menjauhkan Hp dari telinganya.
"Halo. Kirana maaf. Barusan kan cuma bercanda."
Kirana menghela nafas. Lalu mengembalikan Hp ke telinga.
"Nggak lucu."
"Iya maaf. Gitu saja marah. Oh iya kamu sudah menerima suratnya belum?"
"Aku belum dapat suratnya tahu. Deg-degan nih. Eh kamu malah bercanda kaya begitu."
"Oh. Kamu belum menerima suratnya. Maaf. Maaf." Bian tertawa di seberang telepon.
"Au ah," ketus Kirana.
Di sela Kirana merajuk karena dikerjain Bian. Tiba-tiba terdengar suara deru motor disusul bunyi bel rumah dua kali. Kirana segera berlari kencang untuk membukakan pintu tanpa memedulikan Bian di balik telepon.
“Ada mbak Kirana Maheswari?" tanya pak pos sambil tersenyum.
"Itu saya pak," Kirana mengambil surat yang disodorkan padanya.
"Terima kasih pak."
"Sama-sama," pak pos pun berlalu.
Kirana berjalan cepat dan duduk di kursi teras.
"Halo...halo," suara Bian masih terdengar di ujung telepon.
"Iya Bian."