"Mengapa aku bertahan sekuat ini menunggumu. Sementara kau disana mungkin sedang menjalani hidupmu dengan baik. Tanpa memedulikanku yang begitu tersiksa menunggumu," gumam hati Kirana.
"Heh jangan bengong kesambet Lo," ujar Siska setelah menepuk pundak Kirana.
"Lama banget," ujar Kirana ketus.
"Maaf tadi aku mencret. Bolak balik kamar mandi."
"Dih jorok," Kirana menutup kedua lubang hidungnya.
"Pake sabun kali," Siska mencium tangannya sendiri.
"Ini kan gara-gara kamu menyuruhku makan seblak geledek itu. Kalau suka pedas tidak usah ngedoktrin orang biar kuat makan."
Kirana terkekeh melihat ekspresi Siska.
"Riko ke mana?"
"Dia masih molor kayanya. HP-nya tidak diangkat-angkat."
"Terus dia tidak akan masuk mata kuliah pertama begitu."
"Ah bodo amat. Ayo kita masuk kelas."
"Ayo," ujar Kirana sambil mengambil tempat minum berisi teh hangat yang Bi Siti bawakan.
Saat hendak berjalan masuk ke dalam gedung. Tiba-tiba seseorang menubruk pundak Kirana dengan keras membuat botol yang digenggam terjatuh hingga air teh di dalamnya tumpah bercecer.
"Maaf," ujar seseorang.
Kirana dan Siska serentak melirik pada orang tersebut. Kirana mendelik tajam pada pria itu. Sementara Siska terpaku melihat ketampanan pria yang ada di hadapannya.
“Wadaw ganteng coy,” ujar Siska pelan.
"Kalau jalan yang benar dong. Tuh minuman gw jadi tumpah semua!" solot Kirana.
"Maaf. Aku enggak sengaja. Aku lagi buru-buru soalnya terlambat masuk kelas," ujarnya sambil mengambil botol minuman di atas ubin. Lalu menyerahkannya pada sang empunya.
Kirana mengambil kasar. Lalu pergi meninggalkan pria itu dengan wajah sinis. Sedangkan Siska tersenyum sambil mengangkat kedua bahu pada pria yang mematung. Bingung dengan perlakuan kasar perempuan yang baru saja dilihatnya. Biasanya ekspresi semacam Siskalah akan kerap kali ditunjukkan oleh perempuan yang melihatnya. Perempuan lain bahkan akan bersyukur dan berharap ditubruk olehnya.
"Sombong amat sih," ujar Surya.
Siska hanya menggelengkan kepala melihat perilaku sahabatnya yang telah berubah 180 derajat. Siska sangat memahami luka dihati Kirana. Alhasil dia tidak mau berdebat akan hal itu. Dia hanya akan menemani Kirana hingga luka di hatinya itu benar-benar sembuh.
“Sorry dia memang seperti itu,” ujar Siska pada pria yang termangu, lalu pergi meninggalkannya.
Kirana dan Siska masuk ke dalam kelas. Pelajaran pertama pun dimulai. Di tengah asyik memperhatikan dosen menerangkan, tiba-tiba ada suara ketukan di pintu. Kirana dan Siska sudah menduga, jika orang yang mengetuk pintu adalah Riko. Ya benar saja. Wajah bantal beriler itu tampak begitu menyedihkan.
"Maaf Bu saya terlambat. Saya kemarin menonton bola. Jadi kesiangan."
Semua orang terkekeh mendengar kejujuran Riko. Bu Tasya hanya menggelengkan kepala, sebelum mempersilahkannya masuk. Riko menunduk pada Bu Tasya sambil merapikan rambut yang acak-acakan. Lalu duduk di samping Kirana.
"Mandi enggak Lo?" tanya Siska.
"Pake nanya lagi. Enggaklah."