"Kirana," panggil seorang pria.
Kirana melirik sumber suara. Wajahnya datar menanggapi pria yang berlari ke arahnya.
"Halo cantik," ujar Surya lagi.
Kirana berkernyit. Kedua alisnya menyatu melihat pria yang sok kenal sok dekat ini.
"Masih ingat enggak?"
Hem. Kirana mengangguk, tanpa menghentikan langkahnya sama sekali. Surya berlari menghadang tubuh Kirana.
"Aku surya. Tempo hari tidak sengaja menabrak dan menumpahkan minuman kamu," tutur Surya.
Surya menyodorkan tangan. Sementara Kirana hanya melirik tangannya sebentar, lalu melipir melewati tubuh pria yang menghadangnya. Surya bersiul pelan, pertanda dirinya semakin tertantang. Surya tak mau menyerah. Dia kembali mensejajarkan langkah dengan Kirana.
"Apa kesalahanku tidak bisa dimaafkan?" Surya mencondongkan wajahnya pada Kirana.
Kirana menghentikan langkah. Lalu melirik 90 derajat melihat wajah tampan Surya yang sedang memelas padanya.
"Aku sudah memaafkanmu waktu itu," wajah Kirana sangat datar.
"Benarkah. Tapi kenapa aku merasa kamu tidak memaafkanku," Surya manyun di hadapan Kirana.
Kirana berkernyit.
"Kenapa kamu berprasangka seperti itu?"
"Kamu sepertinya tidak senang dengan kehadiranku."
"Karena kita tidak saling kenal. Itu saja," Kirana melangkah beberapa langkah. Lantas berhenti mendadak dan melirik pada Surya.
Surya mengerjap terkejut melihat Kirana sedang menatapnya.
"Aku sudah memaafkanmu. Jadi jangan ikuti aku lagi. Ok," ujar Kirana sebelum berlalu meninggalkan Surya.
Bukan Surya namanya kalau menyerah dengan sikap kasar dan pengabaian seperti ini. Surya berlari dan menyamakan kembali langkah dengan Kirana.
"Bolehkan aku jadi temanmu?" tanya Surya.
"Aku tidak sembarang menerima seseorang menjadi teman."
"Kenapa?"
"Aku tidak suka...." Kirana tidak melanjutkan ucapannya.
"Ah sudahlah pokoknya aku tidak mau," lanjut Kirana sambil mengibas-ngibas lengannya.
"Kirana kata orang, haram hukumnya mengabaikan maksud baik seseorang. Siapa tahu di suatu hari nanti. Kita saling membutuhkan. Jadi kalau kita berteman akan jauh lebih baik kan ke depannya."
Kirana menghentikan langkah. "Jadi mau kamu apa sekarang?" tanya Kirana ketus.
"Kita mulai dari berjabat tangan. Siapa tahu aku bisa masuk kriteria teman dekatmu. Kata orang. Tak kenal maka tak sayang," Surya membulatkan mata sambil mengangguk meyakinkan Kirana.
Kirana mendengus, menggulirkan matanya ke langit, mengacuhkan tatapan Surya.
"Ayolah Kirana."
"Aku heran. Kenapa sih kamu memaksa banget mau jadi temanku. Masih banyak tuh mahasiswi-mahasiswi di kampus ini." Kirana menunjuk mahasiswi-mahasiswi yang lewat di sekitar mereka. Beberapa mahasiswi mengerutkan dahi dan berbisik-bisik karena ditunjuk-tunjuk oleh Kirana.
"Aku maunya kamu."
"Tidak."
"Kirana dosa loh menolak bersilaturahmi dengan sesama muslim."
Kirana melirik sinis Surya. Rasanya ingin menghilang dari sana saat itu juga. Dari dulu Kirana memang tidak bisa dekat dengan pria, kecuali dengan Bian dan sahabat-sahabatnya.
"Apa alasan kamu mau jadi temanku?"
"Karena kamu cantik."
Kirana mendengus. "Sudah menduga kamu akan berkata hal garing seperti itu," ujar Kirana. Seraya melanjutkan langkahnya.
"Maksudku karena kamu itu unik. Maaf salah," Surya meralat ucapannya dan mensejajarkan kembali langkah.
"Unik?"
"Beda dari perempuan lain."
"Maksud kamu. Aku punya kelainan."
"Bukan gitu Kirana. Kamu itu. ehmm. ehmm," Surya menggaruk rambutnya.
"Kamu itu cantik tapi judes." ujar Surya kembali.
"Aku itu jutek. Cuma sama orang-orang rese aja kok."
"Jadi aku rese maksudmu?"
Kirana diam tidak menjawab. Kirana mulai risi melihat orang berbisik-bisik, karena Surya yang populer di kampus ini membuntutinya sedari tadi.
"Jangan begitu dong Kirana. Aku sedih nih."
"Kamu ngotot banget sih," ujar Kirana.
"Aku serius ingin jadi temanmu. Mau ya. Mau ya."
Untuk ke sekian kalinya. Kirana menghentikan langkah. Matanya menyipit melihat gelagat Surya yang pantang menyerah. Kirana sadar betul perangai orang macam ini. Dia akan terus mengikuti sampai keinginannya benar-benar tercapai. Kirana memutar otak, mencari cara untuk mengenyahkan makhluk menyebalkan satu ini.
"Ada tiga syarat kalau kamu mau jadi temanku."
"Apa itu," Surya tampak begitu antusias. Matanya berbinar-binar di hadapan Kirana.
"Kamu yakin bisa memenuhinya?" tanya Kirana.
"Seratus persen aku yakin bisa," Surya mengepalkan tangan.
"Ok. Tapi ada konsekuensinya. Seandainya kamu tidak bisa memenuhi syarat-syarat yang aku ajukan ini."
"Apa tuh?"
"Jika kamu gagal. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Bagaimana?"
Surya terdiam, menatap wajah cantik Kirana yang super jutek. Sikap kasar Kirana menggeletik hati Surya yang selama ini selalu dikejar-kejar para wanita. Tapi kali ini dialah yang harus bersusah payah memenuhi syarat yang diajukannya. Itu pun sekedar untuk menjadi temannya.
Surya tersenyum. Dia bertekad untuk menjadi teman, sekaligus mendapatkan hati wanita ini.
"Apa syaratnya?" ujar Surya.
"Satu. Buat aku tersenyum dengan tulus padamu."
"Lalu?"
"Itu saja dulu. Untuk syarat kedua dan ketiga akan aku beritahu. Jika kamu telah lulus menjalani syarat yang pertama."
"Setuju."
"Itu mah gampang," gumam hati Surya.
"Ingat jika kamu tidak lulus. Jangan pernah menemuiku lagi. Mengerti," ujar Kirana.
"Ehmmm. Baiklah. Aku setuju. Mulai dari kapan?"
"Dari sekarang. Aku beri waktu satu minggu."
"Tunggu dulu. Bagaimana aku bisa tahu, kalau aku sudah membuatmu tersenyum tulus padaku?" tanya Surya.
"Saat aku tersenyum dan menatap matamu bersamaan." ujar Kirana.