"Hari ini kita mau ke mana?"
"Kita lihat lukisan dulu ya. Sebelum kita pergi ke tanah lot,” ujar Surya
"Galeri?"
"Hooh. Ibuku minta dicarikan lukisan. Katanya ada galeri yang baru buka. Kali saja ada lukisan yang bagus."
"Oh," Kirana mengangguk saja.
Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit. Keduanya sampai di pintu masuk galeri seni. Dari awal Kirana menginjakkan kaki di galeri ini. Kirana tak henti-hentinya berdecak kagum, melihat berbagai macam lukisan berderet di dinding berwarna putih gading. Lukisan dengan berbagai macam gaya dan aliran terpampang nyata di sana. Meski Kirana tidak terlalu mengerti tentang seni lukis. Kirana tahu orang yang melukis semua ini. Pasti orang yang sangat berbakat. Lukisan-lukisannya begitu detail dan natural. Seolah-olah tampak nyata apa adanya.
Di salah satu dinding ada lukisan seorang gadis yang sedang menaiki ayunan, membuat Kirana terharu. Sebab raut wajah sang gadis terlihat begitu sendu. Kirana tidak mengerti mengapa pelukis menggoreskan raut wajah sedih itu. Bukankah menaiki ayunan sangat menyenangkan.
“Kenapa gadis ini terlihat sedih Surya. Padahal dia sedang menaiki ayunan.”
“Dia pasti sedang punya masalah. Entah itu patah hati atau mungkin cinta bertepuk sebelah tangan. Atau mungkin cinta yang tak ada kepastian. Seperti yang aku alami sekarang,” ujar Surya sambil mangut-mangut.
“Dih.”
“Seperti halnya diriku. Aku sekarang bahagia bersamamu. Tapi aku tidak tahu. Kamu akan menerima cintaku atau tidak. Kebahagiaan yang terasa semu."
"Nah nasibku ini sama persis seperti yang sedang dialami si gadis yang sedang naik ayunan itu. Merasakan kebahagiaan semu. Merasa bahagia hanya karena sudah lama bersama orang yang dicintai, tapi sebenarnya tidak ada kemajuan sama sekali. Diam di tempat. Kenyataan bahwa hati sang gadis tetap kukuh menolak cintanya,” ujar Surya
Kirana terdiam memandangi Surya dengan tatapan tak biasa. Tepatnya geli.
“Kau juga Kirana. Kau tidak akan bisa bahagia. Kalau tetap teguh dengan derita itu. Cobalah untuk bergerak dan buka hati dan menerima cinta dariku. Supaya kita sama-sama bahagia,” ujar Surya lagi.
“Aku tersentuh mendengarnya. Tapi maaf, kata-kata panjang lebar barusan belum bisa meyakinkanku,” sahut Kirana seraya memeletkan lidah
“hem,” Surya menyunggingkan bibirnya.
“Baiklah. Tidak apa-apa. Aku akan coba kesempatan lain,” Surya manyun.
Kirana tersenyum melihat Surya kesal. Tapi jujur saja Surya terlihat semakin tampan jika dia sedang merajuk seperti itu. Gumam hati Kirana.
“Oh iya Kirana. Aku mau ke toilet sebentar. Tunggu di sini ya.”
Kirana mengangguk. Lalu kembali menikmati lukisan-lukisan yang dipajang di sepanjang dinding. Kirana berjalan miring menyelidiki setiap lukisan yang dilewati. Kadang dia tersenyum. Kadang dia marah. Kadang dia cemberut mengikut ekspresi orang yang ada di dalam lukisan.
Hingga pada satu sisi dinding berwarna jingga. Kirana terhenti cukup lama. Kedua matanya terbelalak melihat satu lukisan yang dia teramat kenalinya.
Kirana melangkah lebih mendekat pada lukisan untuk memastikan. Dan ketika Kirana menyelidik siapa nama pelukisnya. Dia menutup mulut untuk menahan sakit di dada dan tangis yang tak bisa diledakkan.
Inisial NS tertulis di pojok bawah kanan lukisan meyakinkan dirinya bahwa perempuan yang ada di dalam lukisan itu adalah dirinya sendiri. Lukisan yang sama dengan yang Bian buat di Lembang waktu itu. Semuanya benar-benar serupa tak ada pembeda.
Kirana berjongkok menekan dadanya yang terasa sesak. Entah ini perasaan sedih atau bahagia. Mengingat jika benar ini adalah lukisan Bian. Itu berarti dia ada di sini sekarang.
"Bian," bisik Kirana.