Di bawah hamparan sinar jingga senja. Di temani deburan ombak yang mengikis pasir putih. Kirana dan Bian larut dalam rasa rindu yang mendalam. Sekaligus bergelut dengan perasaan mereka masing-masing. Kirana yang bergelut dengan rasa penasaran menanti sebuah penjelasan. Sementara rasa bersalah yang begitu besar menaungi hati Bian.
Bian menatap air biru Tosca di lepas sana. "Aku pergi karena satu rahasia dan satu kebencian pada seseorang Kirana."
"Rahasia dan kebencian seperti apa. Hingga kamu memilih pergi meninggalkanku?" Kirana setia memandangi sisi wajah pria yang selalu dia tunggu.
“Rahasia dan kebencianku ini, keduanya menyangkut tentang dirimu," ujar Bian lirih.
"Diriku? Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," Kirana berkernyit.
"Ada rahasia yang sebenarnya ingin aku kubur selamanya. Rahasia yang membuat diriku mengukir satu janji di depan makam ibumu bahwa aku akan menjaga dirimu selamanya."
“Lantas mengapa kamu pergi, jika sudah berjanji?”
“Kebencian itulah yang membuat diriku harus pergi darimu,” ujar Bian seraya menatap lekat mata Kirana yang berkilau karena genangan air mata.
"Rahasia dan kebencian seperti apa? Katakan padaku Bian." Kirana menggenggam tangan Bian.
"Aku akan ungkapkan semuanya sekarang. Supaya tak ada lagi penyesalan dalam hatiku. Aku pasrah jika kamu akan membenciku setelahnya," ujar Bian balas menggenggam erat tangan Kirana.
Saat Bian berkata seperti itu. Tiba-tiba Kirana merasa ragu untuk mengetahui kebenarannya. Maka sebelum Bian mengatakannya Kirana menyela.
"Tunggu Bian. Aku sebenarnya tak peduli dengan rahasia dan kebencian itu. Yang aku butuhkan hanyalah kamu saja. Untuk itu jika rahasia ini menurutmu baik untuk diungkapkan. Ungkapkan padaku. Tapi jika rahasia ini menurutmu baik jika tidak ungkapkan. Maka jangan kamu ungkapkan."
"Aku akan ungkapkan Kirana. Karena aku tidak mau ada rahasia lagi di antara kita," Bian mengangguk untuk meyakinkan Kirana.
"Baiklah. Aku percaya padamu Bian. Sekarang aku siap mendengarkan. Tapi sebelum kamu bicara. Kamu harus tahu. Bahwa hatiku tak akan berubah padamu. Apa pun rahasia itu.”
"Semoga saja hatimu masih utuh untukku Kirana. Setelah kamu mengetahuinya segalanya nanti," Bian menatap dalam mata Kirana. Ada ketakutan besar disorot matanya.
Bian menelan ludah dan menghela nafas berat. Sebelum mulai menceritakannya.
"Kecelakaan yang menimpa keluargamu. Bukan semata-mata karena kelalaian seseorang. Melainkan direncanakan atas dasar kesengajaan."
"Arsyad sang pelaku, tak lain adalah orang kepercayaan ayahku. Dia merekayasa kecelakaan. Sehingga terlihat seperti sebuah kelalaian. Padahal pada kenyataannya, Arsyad sengaja menginjak rem mendadak, sehingga mobil ayahmu menabrak keras mobilnya dari belakang. Pada akhirnya kecelakaan itulah yang merenggut nyawa seluruh keluargamu," ujar Bian terbata.