Kirana terus menangis sepanjang perjalanan menuju hotel. Surya sengaja memilih diam, karena percuma saja mengatakan sesuatu sekarang. Tidak akan berhasil menenangkan. Kirana hanya akan terus menangis, tanpa mendengarkannya sama sekali. Membiarkan Kirana saat ini adalah satu-satunya cara yang bisa Surya lakukan untuk menjaga emosi Kirana yang carut marut tak karuan.
Setelah masuk ke dalam kamar hotel. Kirana membenamkan diri dalam selimut dan kembali menangis tersedu-sedu. Sementara Surya setia menemani. Sesekali Surya menepuk pundak Kirana untuk menenangkan. Tanpa berkata apa pun.
Setelah air mata terkuras habis. Kirana bangkit menyenderkan tubuh di ranjang dan menyeka sisa-sisa air mata di kedua pipinya. Surya mengambil air minum di atas nakas dan memberikannya pada Kirana.
“Minumlah dulu Kirana. Supaya kamu lebih tenang.”
“Hem,” Kirana meraih gelas dan meminum air putih dingin itu barang seteguk saja.
"Siapa dia Kirana?" tanya Surya hati-hati.
"Dia adalah pria yang selama ini aku rindukan Surya."
"Lalu kenapa kamu menangis setelah bertemu dengannya?" tanya Surya lagi.
"Dia yang kuanggap sebagai malaikat pelindungku. Ternyata tak lain hanya seorang pendusta Surya," ujar Kirana penuh kekesalan.
Surya terdiam, bingung harus seperti apa menanggapi jawaban Kirana barusan. Apakah harus bertanya lebih dalam atau menunggu Kirana menceritakan kisahnya. Surya memilih yang kedua. Dia berusaha sabar dan menahan emosi, meski sebenarnya sangatlah penasaran dengan pria blasteran tadi.
"Dia menutupi fakta perihal kematian keluargaku. Aku pikir selama ini ayah, mamah dan adik kecilku mati karena kelalaian seorang pengemudi. Tapi ternyata kecelakaan itu adalah sebuah kesengajaan yang disebabkan oleh anak buah ayah pria pengecut tadi. Dengan dalil demi menyelamatkan atasan dan perusahaannya," Kirana perlahan-lahan menceritakan segala kisahnya pada Surya.
Surya memperhatikan dengan seksama setiap bait yang diceritakan Kirana. Sesekali Surya menyeka air mata yang kembali mengucur dari sudut kedua mata gadis yang ingin sekali dia bahagiakan ini.
Surya menegaskan rahang dan kedua tangannya membentuk kepalan mendengar sikap pengecut seorang pria bernama Naendro Sabian.
Setelah Kirana menceritakan semua kisahnya dan merasa sedikit lega. Kirana akhirnya memejamkan mata di bawah selimut hangatnya.
"Tidurlah Kirana. Aku akan pergi sebentar," ujar Surya lalu mengecup kening Kirana.
****
Derap langkah berat Surya menggema di ruang galeri yang tidak banyak dikunjungi orang saat itu. Semua orang asyik mengamati lukisan. Sementara Surya mengedarkan pandangan menyapu seluruh ruangan mencari keberadaan pria yang bernama Bian.
Surya masuk semakin dalam ke galeri dan menemukan pintu khusus untuk staf yang bekerja galeri itu. Surya masuk dan menemukan Bian sedang memukul-mukul kening dengan kepalan tangannya. Bian terlihat begitu kusut dan frustrasi setelah menceritakan semuanya pada Kirana.
Surya berjalan cepat ke arah Bian. Lalu menjerat kerah bajunya dengan kuat. Tubuh Bian menegang dalam cengkeraman tangan Surya.
"Pengecut," ujar Surya seraya melayangkan satu tonjokan keras ke rahang Bian.
Bian tersungkur di lantai. Mengusap darah yang keluar dari mulutnya. Bian ingat pria ini adalah pria yang bersama Kirana tadi. Dia mendelik pada pria yang memberi tonjokkan keras padanya.
"Siapa kau?" tanya Bian.
Bian berdiri dan menatap tajam pria di hadapannya.
“Kau tak perlu tahu siapa aku. Kau hanya perlu mempersiapkan diri untuk menerima pelajaran dariku. Sebagai hukuman atas sikap pengecutmu itu.”
“Apa kau kekasih Kirana?"
“Apa pedulimu," sahut Surya ketus.
“Jika benar. Aku mohon bahagiakanlah dia,” ujar Bian.
Surya berdengus tak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan.