Hari ini Nara melewatkan keindahan sunset hanya karena seluruh tubuhnya memerah. Lobster yang dia makan berhasil membuat badannya alergi. Nara menghabiskan waktu beberapa jam hanya berbaring di ranjang. Rey yang selalu siap siaga dengan obat-obatan di tasnya memilah dan mencari obat yang cocok untuk Nara.
“Zel, kulitmu memerah karena alergi?” Rey memegangi wajah Nara. Memastikan Nara benar-benar alergi agar Rey tak salah memberikan obat.
“Iya,” suara Nara melemah.
“Bukankah seafood makanan favoritmu selama ini? Atau jangan-jangan lobster yang kau makan beracun?” Rey mulai cemas menebak-nebak penyebab kulit Nara memerah.
Nara terdiam. Entah harus bagaimana dia menjelaskan itu semua. Tapi rasa cemas di wajah Rey sedikit membuat Nara merasa ada sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya.
“Kupikir lebih baik kau istirahat saja Zel sampai kulit memerahmu hilang. Dan segelas cokelat hangat akan membuatmu lebih baik,” Rey mengulurkan segelas cokelat hangat.
“Terima kasih Rey. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu,” ujar Nara setelah duduk, menyandarkan bahu pada beberapa bantal dan menyesap cokelat hangat sedikit demi sedikit.
Kalau boleh, aku hanya minta segelas kopi dingin Rey. Itu sudah lebih dari cukup.
“Aku suamimu Zel. Sudah sepatutnya aku bersikap seperti ini,” Rey merapikan anak rambut Nara yang mengenai mata perempuan itu.
Apakah dia tidak memiliki kegiatan lain?
“Rey, apa kau tidak tertarik melihat resor malam hari?” tanya Nara setelah menghabiskan cokelat hangatnya lalu meletakannya di atas meja dekat ranjang kemudian kembali berbaring.
“Ehm .. tidak tanpamu Zel. Resor tidak akan terasa indah tanpa kau di sampingku. Malam ini aku temani kau sampai kau tertidur ya Zel,” Rey merapikan selimut Nara.
Nara mengangguk dan membalikkan badannya ke sisi berlawanan dengan Rey. Berusaha memejamkan matanya berharap malam ini akan berjalan cepat.***
Pagi yang indah. Hari kedua Nara di Nihiwatu Resort bersama Rey. Riuh ombak terdengar seperti senandung merdu di telinga Nara. Perempuan cantik itu merasa dirinya sudah lebih baik. Dia terbangun lebih dulu daripada Rey dan mengendap, berjalan keluar tanpa alas kaki. Membiarkan kakinya menyentuh pasir lembut yang terasa dingin.
“Setidaknya aku punya waktu beberapa jam sebelum Rey bangun,” ucap Nara duduk menekuk lutut di bibir pantai dengan mata memandang ujung laut di seberang.
“Tak ada salahnya jika aku berenang sebentar. Rey pasti tak akan tahu hal ini,” Nara berjalan sedikit ke tengah. Membiarkan ombak kecil menerjang sela-sela jari kakinya. Semakin jauh, semakin tak terlihat sebagian tubuhnya.
Rey yang terbangun, menyadari Nara sudah tak ada di sampingnya terlihat sangat cemas. Dia bergegas beranjak tanpa sempat mencuci muka, bahkan menggosok giginya. Entah mengapa feeling Rey sangat kuat.
“Grizela pasti ada di pantai,” pikirnya seraya melangkah dengan cepat.
Dari kejauhan Rey melihat setengah tubuh Nara terendam air laut. Tanpa pikir panjang, Rey berlari. Berteriak memanggil nama Grizela dan menceburkan diri menghampiri Nara yang hampir tenggelam.
“Tolong ... tolong!” teriak Nara saat melihat Rey berlari ke arahnya.
“Zel, Zela kau tidak apa-apa?” kedua tangan Rey menarik tubuh Nara ke bibir pantai lalu menggendongnya. Meletakkan Nara ditumpukan pasir, sedikit menjauh dari pantai.
“Zel, Zela! Demi Tuhan Zela please bangun!” seru Rey kalut, tangannya menepuk-nepuk pipi Nara dengan pelan.
Nggak pingsan kok.
Tak lama, Nara kemudian membuka matanya perlahan. Berpura-pura batuk seakan dia terlalu banyak meminum air laut.
“Zel, kau baik-baik saja?” Rey kembali bertanya dengan perasaan terombang ambing seperti ombak di lautan yang berhasil menyeret Nara ke tengah bibir pantai.