Unfair Marriage

Shinta Puspita Sari
Chapter #7

7. KEBENARAN TENTANGNYA



Seolah tidak mengenal waktu, pagi-pagi sekali, rumah sakit tetap ramai. Para petugas kesehatan terlihat sibuk melayani pasien. Mulai berganti shif dan menyerahkan tugas kepada petugas lainnya. Ada banyak orang yang berlalu lalang sambil menggendong anak kecil yang menangis dan ada juga yang duduk tenang sambil menunggu dokter memanggilnya. Ini adalah pemandangan yang biasa terlihat ketika sampai di rumah sakit.

Hari ini Nara berencana untuk bertemu Grizela. Dia merasa dirinya sudah lebih baik setelah semalaman menyingkirkan beberapa cangkir kopinya. Selain itu, Nara juga telah membekali diri dengan segala konsekuensi perasaan yang mungkin saja tiba-tiba terjadi.

“Sepahit apapun kenyataan yang ada saat ini, aku harus kuat. Menangisi dan menyesali sebuah pertemuan yang sudah Tuhan kehendadi bukanlah sebuah solusi yang baik untuk aku dan Grizela. Kumohon, kuatkan aku untuk tak menangis di depan Grizela,” ucap Nara dalam hati ketika melangkahkan kakinya menuju ruang kantor Lian.

“Nar! Mau kupesankan kopi?” tanya Lian.

“Ide yang bagus!”                   

Lian memesankan dua gelas ice coffee melalui aplikasi.

“Kau sudah menelpon Maura?” tanya Lian, lagi.

“Masih di pedalaman sama Danes. Tidak ada sinyal.”

Sembari menunggu pesanan kopinya, Nara membuka-buka ponselnya. Mencari tahu lebih tentang Grizela Anasha Putri melalui akun media sosial yang diduga sebagai saudara kembarnya. Semakin tekun, raut wajah Nara semakin serius. Kedua alisnya mengerut, kemudian menggeleng-geleng takjub.

“Gila! Hebat juga ya dia,” serunya memekik, membuat Lian terkejut.

“Apa?”

“Dia seorang penulis novel, Li!”

“Serius? Mana kulihat?” Lian mendekat dan mengambil alih ponsel Nara.

“Kembaranmu ternyata memiliki IQ yang jauh lebih tinggi darimu, Nar,” mulut Lian menggembung menahan tawa.

“Aku masih belum percaya, bagaimana ceritanya aku memiliki saudara kembar selama ini?” gumam Nara. Dia menghela napas.

“Aku tahu soal kecelakaan Ayah dan Ibu sampai aku harus tinggal bersama Om Yudha. Tapi kenapa kami dipisahkan dan tidak pernah ada sama sekali yang memberitahu mengenai keberadaan saudara kembarku?”

Lian mengangkat bahu. “Mungkin sekarang saatnya kau cari tahu, Nar.”

Mereka saling menatap, lalu Nara menarik ujung bibirnya. “Kau benar,” ucap Nara bergegas bangun dari duduknya. Saat sedang merapikan tasnya, ada yang mengetuk pintu. Security rumah sakit mengantarkan kopi kepada Lian.

“Dok, ini kopinya.”

“Terimakasih, Pak.” Lian mengangguk dan tersenyum.

“Aku pergi dulu, Li.”

“Hati-hati, Nar! Ini kopimu! Oya, pakai saja mobilku,” seru Lian memberikan satu ice coffee dan kunci mobil kepada Nara yang sedang terburu-buru.

“Terima kasih, Li!” teriak Nara langsung berlalu.***

Perjalanan Nara menuju rumah Yudha, orang tua Maura, menggunakan mobil cukup menegangkan karena ini merupakan kali kedua Nara menyetir sendiri. Bukan kota Jakarta namanya kalau jalanan terlihat lengang. Apalagi di akhir pekan. Kemacetan di ruas tol pun bukan hal yang aneh.

Nara terlihat gusar. Wajahnya penuh kecemasan. Ingin segera menemui orang yang merawatnya sejak kecil dan mendapatkan penjelasan tentang bagaimana dirinya bisa terpisah dengan Grizela.

“Harusnya sepuluh menit lagi sampai,” ucapnya kesal seraya memukul stir kemudi.

Bertahan dalam kemacetan adalah satu-satunya cara untuk bisa sampai ke rumah masa kecilnya bersama Maura. Kini baik dia maupun Maura sudah memiliki rumah sendiri.

Nara sampai di rumah Yudha saat jam menunjukan pukul sebelas siang. Yudha yang merupakan penulis senior di koran nasional dan telah berhasil menulis beberapa buku politik terlihat sedang duduk memandang burung peliharaannya. Di sampingnya, ada seorang perempuan cantik yang terlihat seumuran dengan Nara padahal usia mereka terpaut 30 tahun. Firda, ibunya Maura yang usianya sudah menginjak angka 50 lebih masih terlihat sangat muda.

“Nara! Tumben tidak telepon dulu.” Firda bangkit menyapa Nara yang keluar dari mobil.

“Pak, Bu,” ucap Nara sembari mencium tangan Firda dan Yudha bergantian.

“Bagaimana kabarmu, Nara?” tanya Firda dengan wajah sumringah karena sudah cukup lama tak bertemu dengan Nara yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.

Nara terdiam sejenak. Membuang napasnya lewat mulut. “Kurang baik, Bu. Ada yang ingin kuceritakan.”

Yudha dan Firda saling pandang.

“Kau putus dengan Danes atau bertengkar dengan Maura? Hemmh, anak itu memang kadang suka keterlaluan,” pungkas Firda seraya bangkit dari duduknya.

“Bapak dan Ibu kenal Grizela?” Nara mengabaikan pertanyaan tentang Danes dan Maura. Dia langsung menunjukkan foto Grizela dan memutuskan untuk duduk di hadapan mereka.

Pertanyaan Nara mendadak membuat wajah Yudha dan Firda menjadi pucat.

“Pak,” Nara melanjutkan.

            “Ya, Bapak kenal,” jawab Pak Yudha terdengar datar.

           “Apa benar dia saudara kembar Nara?”

Yudha tampak mengerutkan alis. Begitu pula dengan Firda.

Lihat selengkapnya