Unfair Marriage

Shinta Puspita Sari
Chapter #8

8. KAMAR FLAMBOYAN

Apa yang menimpa manusia, itu karena kehendak Tuhan dan bagaimana manusia itu sendiri berbuat. Tuhan memberikan cobaan memang sesuai porsinya. Tidak lebih dan tidak kurang. Cobaan tidak melulu tentang dosa. Namun, bisa jadi Tuhan sedang meninggikan derajat kita sebagai manusia. Seperti yang kini Nara alami. Ini bukan suatu kebetulan belaka kalau dirinya memilih resign dari pekerjaannya kemudian sekarang dipertemukan dengan Grizela saudara kembarnya.

Perempuan cantik itu sudah berada di rumah sakit sepuluh menit yang lalu. Wajahnya terlihat pucat. Tidak ada obrolan sedikitpun antara Nara dan Lian setelah mereka turun dari mobil lalu berjalan perlahan menuju kamar flamboyan.

“Aku hanya mengantar sampai di sini,” seru Lian memecah kebisuan Nara saat berdiri di depan pintu kamar.

“Oke!” Nara menjawab pelan.

“Percayalah Nar, semua akan baik-baik saja.”

Nara mengangguk dan memegang gagang pintu bersiap untuk membukanya.

Lian tersenyum. “Masuklah,” ucap Lian pada Nara tanpa bersuara. Hanya bibirnya saja yang bergerak.

Nara menoleh pada pintu yang bertuliskan Flamboyan lalu kembali menatap Lian dengan penuh keraguan.

“Aku tak tertarik lagi untuk bertemu Grizela!” Nara melangkah pergi begitu saja. Lian menghela napas panjang.

“Lihatlah! Bukankah hidupmu jauh lebih beruntung?” ucap Lian.

Nara menggigit bibirnya. Tangannya mengepal kuat, dan matanya berkaca-kaca seakan menahan sesuatu yang memaksanya keluar.

Nara memutar badannya, berjalan kembali mendekati kamar Flamboyan.Lian berjalan mengekor di belakang Nara. Kedua sudut bibirnya melengkung tersenyum.

“Nara, masuklah. Aku siaga di sini,” ucap Lian.

Nara membuka pintu kamar. Dia berdiri di ambang pintu. Kepalanya menunduk, sengaja menyembunyikan wajahnya. Perlahan Nara mengangkat kepalanya seraya mengembangkan senyuman pada Grizela yang menatapnya tanpa berkedip.Grizela tergeragap, dan merasa degup jantungnya semakin kencang. Grizela menggeleng panik dan berteriak. Lian bergegas masuk ke dalam dan menghampiri Nara yang sedang membeku di tempat.

“SIAPA DIA? KALIAN PIKIR INI LUCU?”

“Tenang, Grizela.” Lian mencoba mendekat.

“Nggak mungkin! NGGAK MUNGKIN!”

Grizela berteriak histeris dengan mata terpejam. Kedua tangannya menutup rapat-rapat telinganya. Dia terlihat sangat ketakutan. Lian mencoba menenangkannya, namun gagal.

Beberapa saat waktu di kamar Flamboyan seperti berjalan sangat lambat. Nara mencoba memberanikan diri memulai obrolan meski tenggorokannya terasa terkecik.

“Aku tahu kau mungkin terkejut melihatku. Begitupun juga denganku. Oh ayolah, Grizela. Siapa yang tidak panik berada di situasi seperti ini? Aku bahkan masih berharap ini mimpi buruk.”

“PERGI!”

Lian mencapai tubuh pasiennya dan mencoba memeluknya namun dia justeru terdorong sangat keras. Nara menghela napas berat.

“Stop, Grizela! Daripada begini, lebih baik kita memulai untuk saling mengenal. Aku Nara,” Nara mengulurkan tangannya.

 Grizela masih bergeming diam seribu bahasa seraya mengabaikan tangan Nara. Dia kembali menghela napas, menarik kembali uluran tangannya dan memilih memasukkan tangannya ke saku celana yang dia kenakan. Lian memegang bahu sahabatnya. Tidak ingin sampai perempuan cantik itu sampai meledak dan justeru merusak segalanya.

Grizela langsung membuang pandangannya. Menepiskannya pada meja di samping ranjang.

“Nara, bisakah kauambilkan minum untuk Grizela?”

Nara memilih diam saja. Entah bagaimana cara Grizela dibesarkan, namun sikapnya sangat kekanak-kanakkan.

“Nara,”

“Oke, fine.”

Nara berpindah posisi lalu menyodorkan segelas air kepada Grizela. Lagi-lagi Grizela tetap terdiam dan masih tak mengacuhkan Nara.

“Baiklah, aku tahu kau perlu beristirahat. Lebih baik aku pergi,” ucap Nara setelah meletakkan kembali gelas ke atas meja.

“Tunggu!” suara Grizela menghentikan langkah Nara.

Nara berbalik dan memilih tetap berdiri sedikit menjauh dari Grizela.

“Apa maumu?” Grizela sedikit menggeser badannya, mencoba duduk bersandar pada ranjang, menatap Nara penuh selidik.

“Biar kubantu,” Lian mendekat, membantu Grizela duduk dengan menaruh beberapa bantal untuk menahan punggungnya. Lian memberi isyarat agar Nara mendekat. Perempuan itu mau tidak mau akhirnya menurut.

Nara merasa sangat canggung duduk berdekatan dengan Grizela. Dia mengembuskan napasnya beberapa kali, mencoba membuat dirinya tenang sebelum kemudian kembali memulai obrolan dengan mengenalkan dirinya sebagai saudara kembar Grizela.

 “Oke, seperti yang kau lihat, kita kembar!”

Grizela menutupi rasa terkejutnya dengan menampik segala kenyataan yang Nara ungkapkan. Baginya, pengakuan perempuan yang sangat mirip dengannya itu hanyalah sebuah lelucon.

“Apa maumu?” Grizela tertawa seakan meledek.

“Lihatlah ini!”

“Aku tak tertarik untuk melihat itu semua!” ucap Grizela ketus saat Nara menyodorkan beberapa berkas bukti yang menyatakan mereka saudara kembar.

Pengingkaran yang Grizela lakukan membuat Nara merasa kecewa sekaligus kesal.Nara melirik jam tangan yang dia kenakan dan bangkit dari duduknya.

“Aku pergi!” seru Nara dengan menahan helaan napas yang sesak karena kesal setelah mengambil berkas yang dibiarkan tergeletak begitu saja di ranjang tanpa sedkitpun disentuh oleh Grizela.

“Tunggu sebentar Nara,” Dokter Lian mencegah.

“Kuharap besok keadaanmu jauh lebih baik Zel. Nara akan kembali besok. Bukankah begitu Nara?”

Nara melengos pergi dan mengabaikan ucapan Lian.

“Mungkin setelah urusannya selesai, Nara akan menemuimu lagi Zel,” ucap Lian sebelum kemudian berpamit kepada Grizela dan menyusul Nara keluar ruangan.***

Lihat selengkapnya