Unfair Marriage

Shinta Puspita Sari
Chapter #9

9. GRIZELA ANASHA PUTRI


Grizela, perempuan berusia 25 tahun yang memiliki sifat manja. Tak heran jika dia selalu ingin mendapatkan apa yang dia kehendaki. Malam ini, Grizela membuka ponselnya. Membaca lagi beberapa pesan whatsapp dari Rey, kekasihnya yang tersimpan di ponselnya. Setelah kejadian yang menimpanya, Grizela sengaja memblokir nomor Rey. Dia tak mau Rey mengetahui tentang kecelakaan yang menimpanya. Terutama tentang kakinya. Perihal memblokir nomor, Grizela selalu melakukan hal itu saat mereka berdua berseteru.

Dia masih ingat bagaimana orang-orang yang mengaku sahabatnya dan bahkan selalu membuatnya bertengkar dengan Rey, tidak ada satupun dari mereka yang menanyakan kabarnya, bahkan saat Grizela benar-benar butuh teman bicara, tak ada yang bersedia mengangkat telponnya dengan berbagai alasan.

Malam semakin larut, Grizela masih terjaga bersama laptopnya yang dibiarkan menyala. Dia membiarkan mobilnya yang rusak parah menginap di kantor polisi. Namun tidak dengan ponsel dan laptopnya. Kedua benda itu sangat penting bagi penulis sepertinya.

 Sudah setengah jam terlewati begitu saja tanpa berhasil merangkai kalimat bahkan kata. Pikirannya dibiarkan berlari, mengingat kembali masa-masa saat sebelum terjadinya kecelakaan yang menimpanya.

Dalam pikirannya, Grizela merasa Rey berada di hadapannya. Berdiri dengan tangan merangkul bahunya, seperti biasa. Sesaat dadanya terasa sesak. Tanpa disadari dia tiba-tiba menangis.

“Grizela, kapan kau menjadikan aku tokoh dalam novelmu?” tanya Rey saat Grizela tengah sibuk menyelesaikan novel yang kini menjadi best seller.

“Ngg.. Ngg setelah kita menikah,” jawab Grizela dengan bibir yang melengkung.

“Aku tak sabar menunggunya Zel,” ujar Rey seraya mengelus kepala Grizela dengan lembut lalu merengkuh tubuhnya dengan manja.

Seketika isakan tangisan Grizela semakin terdengar getir. Wajah Rey perlahan menghilang saat Grizela menyadari dirinya hanya memilki satu kaki.

Beberapa jam Grizela masih terpaku memandangi layar laptonya. Mengetik beberapa kata lalu dihapusnya kembali. Sesekali dia memegang kepalanya kuat-kuat. Begitu terus selama beberapa jam. Hingga pada akhirnya dia berhasil menuliskan judul dari novel yang pernah dijanjikannya pada Rey.

Unfair Marriage, kurasa ini cocok,” gumam Grizela pada diri sendiri sebelum kemudian Grizela menutup laptopnya dan beralih membuka ponsel miliknya.

Malam sudah menunjukan pukul 1 dini hari. Tapi otak Grizela masih bersikeras mencari jalan keluar dari permasalahan yang dia hadapi. Keningnya mengerut. Entah mengapa Grizela tiba-tiba teringat Nara.****

Pagi itu, sepertinya matahari terlambat untuk bangun. Tapi Nara sudah berpakaian rapi lengkap dengan tas bahu yang biasa dia kenakan. Perempuan pecinta kopi itu terlihat gelisah, sepertinya dia meragu untuk kembali mengunjungi Grizela setelah perlakuan saudara kembarnya kemarin yang mentah-mentah menolaknya.

Sembari duduk di meja makan, Nara merogoh tas bahunya. Tangannya mencari ponselnya yang berbunyi.

“Grizela?” Nara terperanjat melihat nama pada layar ponselnya.

Haruskah Nara mengangkat telepon darinya, setelah apa yang sudah Grizela katakan kemarin. Nara memejamkan matanya sejenak. Berpikir apa yang harus dia lakukan. Mengangkat atau mengabaikan telepon Grizela.

“Tak masalah jika aku memberinya kesempatan,” ungkap Nara dalam hati.

“Tapi,” Nara meragu takut kalau-kalau Grizela membuatnya semakin tersakiti.

Nara memejamkan matanya sejenak sebelum kemudian memutuskan untuk mengangkat telepon dengan suara terdengar canggung.

“Ya, Grizela, apa kabar?” sapa Nara dengan gugup saat mengangkat telepon.

“Hari ini aku lebih baik,” suara Grizela terdengar berbeda.

Lihat selengkapnya