Unfair Marriage

Shinta Puspita Sari
Chapter #10

10. SEBUAH PERMINTAAN YANG MENYAKITKAN


Semenjak bertemu dengan Grizela, Nara menghabiskan sebagian banyak waktunya di rumah sakit. Menemani saudara kembarnya, berbincang banyak hal tentang kehidupan masing-masing,mencoba membuatnya terhibur dan melupakan segala kesedihan yang menghinggapinya. Kehadiran Nara membuat kondisi Grizela lekas membaik. Dia seperti menemukan kembali kehidupannya yang beberapa hari ke belakang terlihat suram.

Pukul sepuluh pagi, Nara masih berada di ranjangnya. Semalam dia tidur sangat larut. Ikatan darah antara Nara dan Grizela membuatnya juga bisa merasakan apa yang Grizela rasakan.

“Kalau aku menjadi Grizela, belum tentu aku mampu menghadapi ini,” ucapnya dalam hati sembari beranjak dari ranjangnya lalu pergi ke meja dapur dan menyeduh cappucino hangat seperti biasa. Duduk di kursi menghadap jendela. Memandang langit Jakarta sembari menyesap cappucino miliknya.

Ponselnya berbunyi. Nara bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati meja dapur untuk mengambil ponselnya.Tertulis nama Maura.

“Halo,” sapa Nara.

“Nara aku merindukanmu!” terdengar suara Danes dari balik ponsel.

“Ya, Dan!” sapa Nara malas-malasan.       

“Nara kau tak kaget aku meneleponmu? Kau pikir pasti Maura bukan?”

“Ehm, untuk yang tidak ada kabar berhari-hari, lumayan kaget,” jawab Nara.

“Nara, kok suaranya lemas? Kau sakit? Sudah makan? Atau kau pasti capek kerja ya? Sudah kubilang kau berhenti bekerja dan,” seru Danes memberondong Nara dengan banyak pertanyaan.

“Aku baik-baik saja Dan. Kau tak perlu khawatir berlebihan,” Nara buru-buru memotong ucapan Danes dengan nada suara yang kesal.

“Ok! Maaf Nara. Aku hanya tak ingin kau sakit.”

I’m fine Danes!” Nara meyakinkan.

“Syukurlah Nara. Aku senang mendengarnya. Kau tak menanyakan kapan aku pulang?” Danes melanjutkan.

“Baiklah. Kapan kau pulang Dan?”

“Aku pulang besok lusa. Tunggu aku ya. Aku tak sabar ingin bertemu denganmu Nar.”

Nara diam tak merespon.

“Nara? Kamu tak merindukanku?

“Aku, aku ya aku rindu jadi cepatlah pulang Danes,” ucap Nara menggelengkan kepalanya sebelum kemudian menutup telepon dengan mengatakan kepada Danes dia harus bergegas membersihkan diri selepas kerja. Jika ada yang bertanya bagaimana hubungan Nara dan Danes, maka jawabannya, seaneh dirinya memutuskan untuk resign kerja, namun enggan menceritakannya pada kekasihnya itu.***

Pukul tujuh pagi, seperti biasa Nara sudah berada di rumah sakit. Tanpa sengaja Nara bertemu Lian. Mereka berbincang sebentar perihal kesehatan Grizela di kantin yang mulai ramai karena para penjual sudah bersiap membereskan dagangannya. Bahkan kursi-kursi masih berjejer rapih di atas meja.

Entah sudah berapa lama Nara berdiam diri di kantin. Dari suasana kantin yang masih sepi sampai kantin sudah mulai ramai dikunjungi keluarga pasien yang mencari makanan untuk mengisi perut.

Di depan pintu kamar Flamboyan Nara berdiri, terdiam sejenak, sedikit ragu untuk masuk dengan wajah kekecewaannya. Ucapan Lian masih terngiang-ngiang dalam telinga Nara.

Sebelum masuk kamar, Nara mencoba menarik kedua ujung bibirnya beberapa kali. Melenturkan otot-otot wajah yang kaku karena hatinya bergetar hebat. Gelenyar di dadanya terasa menekan jantungnya hingga sesak. Nara mengintip Grizela dengan nanar dari balik pintu yang terbuka sedikit.

“Hai, Zel. Bagaimana keadaanmu hari ini?” sapa Nara sesaat setelah melemaskan otot wajahnya.

Nara berdiri di ambang pintu lalu berjalan mendekat, menaruh beberapa bungkusan yang dibeli di kantin dan meletakkannya di atas meja.

“Ada yang ingin kuceritakan,” ucap Grizela.

Nara tersenyum tipis. “Apa yang ingin kau ceritakan Zel?” Nara memberikan roti cokelat pada Grizela.

“Sejak aku berada di sini, aku memblokir nomor Rey. Rey pasti mencariku. Dan tak mungkin aku bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini,” ucap Grizela dengan mata memerah berkaca-kaca.

“Rey?”Nara mengernyit.

Lihat selengkapnya