Setiap orang berhak memiliki sebuah bahkan lebih dari beberapa impian. Impian adalah penyemangat hidup yang dapat membuat kita terdorong dan tergerak untuk meraihnya. Termasuk bermimpi untuk mendapatkan pasangan hidup yang sesuai dengan keinginan kita. Memiliki suami yang tampan dan mapan adalah impian bagi sebagian banyak wanita.
Pagi ini, langit Jakarta belum tersinari matahari, namun Danes, kekasih Nara telah berada di apartemen Nara. Kepergiannya ke Raja Ampat, Papua, untuk mengambil beberapa foto kegiatan yang dilakukan masyarakat setempat selama beberapa minggu, membuatnya sulit berkomunikasi dengan Nara. Ditambah ponselnya yang terjatuh saat menaiki perahu tradisional Kajang membuat Danes harus menahaan rindu pada kekasih yang sangat dicintainya itu.
Perahu Kajang adalah alat transportasi tradisonal masyarakat Misool di Kabupaten Raja Ampat. Perahu ini berbentuk unik dan terbuat dari kayu, bambu, serta beberapa daun yang biasa digunakan untuk atap rumah.
“Tak bisakah kau datang lebih pagi Danes?” keluh Nara, mengucek matanya yang masih terasa sulit untuk dibuka.
“Maaf, Nara. Tapi beberapa pekan kita tak bertemu. Apa kau tak merindukanku?” ucap Danes seraya mengelus kepala Nara.
Nara memutarkan kedua bola matanya lalu mencibir. “Tapi tak sepagi ini juga kan Dan?”
“Aku selalu tak mampu menahan rindu untuk tak melihatmu, Nara. Walau hanya sedetik,” Danes mengedipkan sebelah matanya.
Nara menarik napasnya dan merasa kehidupannya telah kembali seperti semula.
Mengapa Danes tak menetap saja di sana? Mengembangkan bisnisnya di sana, mungkin. Tapi Danes malah kembali. Itu artinya aku harus kembali tahan untuk menerima semua perlakuannya padaku termasuk mendengarkan Danes mengatakan sesuatu yang berlebihan padaku. Mungkin aku adalah bidadari yang tak bersayap bagi Danes. Danes please berhentilah. Argh!
“Mau kubuatkan roti cokelat dan cappucino hangat?” Danes beranjak dari duduknya dan melangkah ke dapur, berharap apa yang dia lakukan dapat memudarkan rasa kesal Nara.
Nara menggeleng. Tapi Danes memaksa, tetap berdiri di belakang meja dapur. Danes memang seperti ini. Selalu berhasil melakukan sesuatu hal yang dia inginkan. Rambutnya yang sedikit panjang diikat dengan ikat rambut. Lengan kemeja putih panjang yang Danes kenakan dilipat sampai siku. Sebagian wajahnya tersinari lampu gantung yang berwarna kekuningan. Nara mendekat, dan duduk di kursi berseberangan dengan Danes. Dia berpangku tangan melihat kepiawaian Danes dalam meracik kopi.
“Kau hebat Dan!” puji Nara sembari tersenyum tipis.
“Kau jauh lebih hebat Nara.”
Nara mengedikan bahunya. “Maksudnya?”
“Kau berhasil membuatku tergila-gila,” rayu Danes dengan lengkungan bibirnya.
Oh my God!
“Bukankah kau selalu begitu Dan? Yang kutahu, kau selalu bersikap seperti ini pada setiap pacarmu,” suara Nara terdengar seperti menyindir.
“Dari mana kau tahu? Selama ini kau memata-mataiku?” lanjut Danes, menyapu pandang pada Nara kemudian menarik salah satu sudut bibirnya.
Nara menolehkan pandangan. Rasanya percakapan pagi buta ini tidak lebih menarik daripada menggulung kembali selimut lalu meringkuk dan tidur.
“Memataimu? Artinya apa yang kukatakan benar?” Nara tertawa kecil.
“Kau cemburu?” ledek Danes sembari melanjutkan meracik kopi.
“Tak ada gunanya aku memata-mataimu. Bukankah mantan pacarmu itu teman kerjaku?”
Danes membelalakkan matanya. “Oh no! Nara itu hanyalah gosip! Percayalah padaku, hatiku hanya untukmu Nar!”
Nara diam sejenak tak menanggapi dan memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
“Bagaimana kegiatanmu di Raja Ampat?”
“Sangat menyenangkan! Aku berhasil mendapatkan foto yang kuinginkan Nara. Nanti kau harus melihatnya? Oya, kapan-kapan aku akan mengajakmu ke Raja Ampat Nara! Tepat di bulan Agustus saat ada festival bahari.” Danes melanjutkan seraya memberikan cappucino pada Nara.
Nara menganggukan kepalanya sembari menyesap cappucino buatan Danes.
“Kau pasti suka Nara. Dan impianku, kita bisa melakukan foto preweding di bawah laut Raja Ampat,” suara Danes terdengar seperti sebuah lelucon di telinga Nara dan membuatnya tersedak.