Unfair Marriage

Shinta Puspita Sari
Chapter #12

12. KEHADIRAN MAURA DAN KEPUTUSAN YANG SULIT


“Makanlah Nar. Kau harus makan. Ingat kesehatanmu jauh lebih penting,” suara Danes terdengar dari balik layar ponsel Nara.

“Iya selepas aku menutup telepon, aku pasti akan makan Dan.”

“Aku tak percaya Nar! Aku akan menemanimu makan agar aku percaya kamu benar-benar makan Nar,” suara Danes terdengar memaksa dan tak mau mematikan ponselnya.

Dan akhirnya Nara terpaksa menuruti keinginan Danes untuk makan sembari melakukan panggilan video karena Nara tak mau berselisih paham hanya karena ini.

“Apa yang ingin kauceritakan Nar?” pertanyaan Maura memudarkan lamunan Nara tentang bagaimana sikap Danes kepadanya.

“Oh, iya. Aku yakin kau tak akan percaya Ra! Kau lihat ini!” Nara menunjukkan foto dirinya dengan Grizela.

“Editan yang bagus Nar,” seru Maura datar.

“Ini bukan editan Ra! Dia kembaranku.”

Maura terperangah tak percaya.

Seriously? Sejak kapan kau memiliki kembaran Nar?” tanya Maura meledek.

Nara melepaskan napas kesalnya.

“Sejak aku berpikir, aku tak ingin memiliki kembaran, dan kau menghilang berminggu-minggu. Membuatku melewati malam-malam panjang sendirian.”

“Kau serius?” tanya Maura meyakinkan.

Nara menunduk kemudian mengangguk pelan, lalu tangannya mengambil berkas yang dia simpan di bawah meja dan menunjukkan pada Maura.

“Bagaimana ini bisa terjadi Nar? Respon Bapak sama Ibu gimana? Kau sudah ke sana?” seru Maura seraya membaca berkas yang Nara tunjukan padanya.

Nara menarik kembali napasnya perlahan sebelum dia menceritakan bagaimana awal pertemuannya dengan Grizela. Perempuan yang Nara temui di rumah sakit. Wanita cantik yang kehilangan satu kakinya di tiga bulan terakhir menjelang hari pernikahannya. Perempuan yang terlihat sedang mencoba lari dari masalah dan meminta Nara untuk menggantikan dirinya menikah dengan lelaki yang sangat dia cintai.

Maura terpaku beberapa saat mendengar semua cerita Nara tentang pertemuannya dengan Grizela. Kedua tangannya menutupi seluruh bagian wajahnya, kemudian menoleh.

“Kau sedang tidak mengarang cerita kan Nara?”

“Apa kau melihat wajahku sedang bercanda Ra? Kau ingin kupertemukan dengannya? Hah?” Nara mendekatkan wajahnya tanpa jarak ke hadapan Maura.

“Ini benar-benar terjadi Ra!” Nara menenggelamkan tubuhnya pada sofa yang berwarna biru. Kedua tangannya melipat ke dada. Pandangannya dibiarkan berlari menatap langit-langit apartemen.

“Aku tak pernah berpikir ini akan terjadi padaku Ra,” Nara melanjutkan setelah menarik paksa napasnya yang terasa berat.

“Kau yakin bersedia menikah dengan Rey kekasih Grizela Nar?”

Nara terdiam sejenak. Suasana seketika menjadi hening, kemudian Nara menggeleng.

“Sampai detik ini aku tak memiliki keyakinan itu Ra.”

Nara membuang napasnya dari mulut. Lalu mengambil gelas berisi kopi di meja. Meniupnya pelan-pelan dan menyesapnya sedikit demi sedikit seraya berpikir apa yang harus dia lakukan.

“Kau pernah membayangkannya Nar? Aku masih tak habis pikir Bapak dan Ibu merahasiakan semuanya.”

Nara menoleh pada Maura, meletakan cangkir kopi di meja lalu menggeleng dengan sedih dan tanpa disengaja air matanya menetes. Maura menatapnya sedih.

“Tak adakah cara lain?”

Nara kembali menggeleng lemas. “Hanya ini pilihan yang bisa kupilih Ra. Saat aku meninggalkannya sendiri karena sangat marah, Grizela hampir terbunuh dalam upaya bunuh diri,” lanjut Nara dengan suara nyaris tak terdengar.

“Apa?” Maura sontak berdiri dari duduknya.

“Gila!” seru Maura kesal.

“Aku tak sanggup melihat wajah kesedihan Grizela, jujur aku sangat berusaha untuk tidak peduli. As you know, aku jarang tertarik dengan kehidupan orang lain. Tapi sumpah demi apapun, sekarang tidak bisa. Apa aku menikah saja dengan Rey? Tapi aku sudah sangat nyaman dengan Danes. Entahlah!”

“Sadar, Nar. Kau yakin bisa menanggungnya? Kenyataan kalau kau akan menjadi isteri Rey? Pacar adikmu sendiri Nar?” kalimat itu seolah-olah keluar begitu saja dari mulut Maura.

“RA!”

Sorry, bukan maksudku untuk,” Maura merasa menyesal.

“Kau benar Ra. Merelakan seseorang yang sangat kita cintai tidaklah mudah. Tapi perlu kau tahu, akupun merasa tersakiti karena harus menikah dengan seseorang yang tak pernah aku cintai Ra! Aku tak pernah membayangkan pernikahanku akan seperti apa. Apa kaupikir, aku menganggap sebuah pernikahan itu hanya sebuah permainan?” Nara memekik, membela diri. Wajahnya memerah dan bibirnya bergetar lalu menangis terisak-isak. Hatinya merasa terguncang hebat.

Lihat selengkapnya