Unfair Marriage

Shinta Puspita Sari
Chapter #14

14. KOTA BANDUNG


Tepat pukul 4 sore, Rey dan Nara sampai di Bandung. Jalanan sekitar daerah Riau terlihat selalu padat meskipun bukan hari libur. Selain banyak tempat kuliner, di sini juga berjejeran Factory Outlet sehingga menjadi pusat perbelanjaan bagi para pelancong.

“Bandung ramai sekali!” gumam Nara. Terakhir dia ke Bandung, sekitar lima tahun yang lalu.

“Kau lupa?” Rey merasa heran.

Nara melirik canggung ke arah Rey.

Shit! Dia mendengarnya.

“Apa kepalamu terbentur setir saat kecelakaan terjadi?” tanya Rey sedikit khawatir.

 “Kapan terakhir aku ke sini?” Nara mengedarkan pandangannya ke luar kaca jendela.

“Kecelakaan membuatmu hilang ingatan Zel?”

“Sepertinya begitu Rey. Aku tak ingat kalau aku pernah melewati jalan ini.”

Rey tiba-tiba menepikan dan menghentikan laju mobilnya. Wajahnya terlihat panik. Tangan Rey dengan sigap memeriksa kepala Nara. Khawatir terjadi sesuatu kepadanya.

Nara meringis seakan menahan kesakitannya.

“Sakit?” tanya Rey cemas.

Nara mengangguk sembari menahan agar bibirnya tak mengembang.

Rey tampak sangat khawatir. Wajahnya terlihat gusar. “Kita rumah sakit dulu, kita perlu scan kepalamu Zel. Aku takut terjadi hal buruk padamu. Rumah sakit di Bandung juga bagus.”

“Kau percaya?” Spontan Nara terkekeh melihat wajah kepanikan Rey.

Rey menghempaskan napas kesal bercampur lega. “Baiklah, tapi kurasa kau tak akan pernah menang Zel,” tantang Rey dengan nada bercanda.

“Kita lihat saja Rey, siapa yang akan menang,” balas Nara dengan wajah mendongak.

Rey lalu melajukan kembali mobilnya ke tengah jalan. Berada dalam kemacetan bersama orang yang belum Nara kenal sedikit membuatnya tak nyaman. Dilihatnya berkali-kali arloji yang menempel di tangan kanannya.

Tak sampai dua ratus meter, mobil mereka berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Nara syok seketika saat melihat mobil Danes berhenti tepat di depan mobil yang Nara kendarai.

“Itu kan?” Nara tersentak kaget seraya menggeser duduknya ke depan. Memastikan.

“Ada apa Zel?”

Nara menggeleng dengan wajah tersenyum. Mencoba menutupi keterkejutannya. Selama dua menit Nara merasa dadanya berdesir kuat. Bagaimana tidak, Danes sedang berada di Bandung untuk urusan bisnisnya. Begitupun juga dengan Nara. Sesekali Nara mengucek kedua matanya karena perempuan cantik itu nyaris tak memercayai apa yang dilihatnya sendiri.

Kepergian Nara tanpa pamit pada Danes, seorang laki-laki yang selama ini memberikan seluruh perhatian dan kasih sayangnya pada Nara memang membuat Nara merasa merindu dan juga bersalah.

Sesaat setelah lampu berganti, Nara belum juga melepaskan pandangannya dari keberadaan mobil yang berwarna silver itu. Nara tak kuasa menahan gelombang pasang kesedihan yang membuat hatinya kembali mencelus. Segala kenangan seperti muncul begitu saja dipelupuk matanya.

“Zel, kita mampir makan dulu ya,” ucap Rey seraya membelokkan mobilnya lalu parkir di sebuah halaman resto.

Nara mengangguk tanpa menjawab. Tenggorokannya terasa tersumbat begitu kuat.

“Tak apa-apa kan kalau kita mampir dulu?”

“Ya,” jawab Nara singkat sambil meletakkan ponselnya ke dalam saku.

Hati Nara sedikit tenang meski rasa khawatir itu masih ada. Takut tiba-tiba Nara dan Danes bertemu tanpa sengaja.

“Kau ingat dengan tempat ini?” ucap Rey pada Nara selepas keluar dari mobil.

Nara terlihat kikuk, namun perempuan cantik dengan rambut yang tergerai sebahu itu mencoba terlihat biasa saja.

“Ya tentu saja aku ingat. Sangat ingat,” Nara meringis.

“Apa yang kau ingat Zel?”

Nara terdiam. Mengingat-ingat cerita yang pernah Grizela katakan padanya.

“Zel? Apa yang kau ingat?” Sekali lagi Rey mengulang pertanyaannya.

Nara hanya bisa diam. Tak menjawab pertanyaan Rey. “Kau mau makan apa?” seru Nara mencoba mengalihkan pembicaraan saat pramusaji menghampiri mereka.

Orange jus dan nasi goreng kambing. Dan kau Zel?”

Cappucino ice,” seru Nara pada pramusaji yang berdiri di samping meja.

Wajah Rey tampak keheranan.

“Sejak kapan kau minum kopi Zel?”

Nara menggigit bibirnya.

OMG! Aku lupa!

“Oh iya aku lupa dengan asam lambungku yang tak bisa kompromi. Aku pesan lemon tea saja,” Nara berkata dengan dengan wajah memerah.

“Kau tak makan?”

Nara menggeleng. “Aku belum lapar.”

Lihat selengkapnya