Unfair Marriage

Shinta Puspita Sari
Chapter #15

15. PERSIAPAN PERNIKAHAN


Tidak ada sesuatu yang bisa Nara lakukan di pagi yang cerah ini selain duduk berlama-lama di depan TV sambil memandang sudut langit yang megah dari balik kaca jendela yang dibiarkan terbuka. Langit yang menawarkan berjuta keindahan lazuardi, membuat Nara semakin betah duduk berlama-lama menghabiskan waktu hanya untuk memikirkan nasib hidupnya.      

           Dari kejauhan terlihat ponsel Nara menyala. Nara bangkit dari duduknya dan mengambil ponsel lalu pergi ke dapur untuk membuat minuman hangat.

           “Nara,” sapa Maura setelah Nara mengangkat teleponnya.

           “Ya Ra,” jawab Nara singkat.

           “Kau sakit?” tanya Maura mendadak panik karena suara Nara terdengar seperti tak biasa.

           “Tidak Ra, aku hanya kurang istirahat saja. Semalam aku tak tidur,” ujar Nara setelah meletakkan ponselnya.

“Jadi semalam kau tak tidur?” tanya Maura yang terdengar dari ponsel Nara yang di loudspeaker.

           “Ya,” jawab Nara singkat seraya mengaduk teh manis hangatnya.

“Dan kau tahu Maura?”

“Apa?” sahut Maura dengan penasaran.

Nara menghempaskan bahunya saat menyadari ini adalah hari kedua Nara menjadi Grizela. Hari yang Nara pikir akan sama saja atau bahkan lebih berat untuk perempuan itu jalani selama dia berpura-pura menjadi kembarannya.

“Pagi ini aku terpaksa harus rela melewatkan cappucino kesukaanku.”

“Astaga, kukira apa.Kau tak akan mati tanpa kopi Nara,” Maura menambahkan.

“Teh hangat mungkin jauh lebih baik untuk kesehatanmu Ra,” Maura melanjutkan setelah dirinya terkekeh.

“Kau benar, tapi tanpa kopi rasanya seperti ada yang hilang.”

“Hilang?” ulang Maura dengan nada seperti mengingat sesuatu.

“Ya,” jawab singkat Nara setelah menaruh toples kaca yang berisi gula pasir pada lemari dapur yang tergantung di atas kompor.

Sepupu Nara itu kemudian berdeham. “Kau merasa kehilangan kopi atau barista pribadimu Nar?” celetuk Maura.

Tiba-tiba Nara teringat pemilik mobil silver itu. Nara terdiam cukup lama. Membiarkan pikirannya bermain dengan kenangan bersama laki-laki yang pandai membuat perempuan introvert itu tersenyum. Laki-laki yang kini Nara tinggalkan begitu saja tanpa alasan.

Maafkan aku Danes.

“Nara?” tanya Maura memastikan apakah Nara masih dalam panggilan.

Nara tak menjawab.

“Nara? Kau masih di situ?” tanya Maura dengan nada menyesal karena sudah salah berkata.

“Nara?” panggil Maura mengulang dengan hati-hati.

“Iya Ra, sorry tadi aku,” sahut Nara dengan kedua tangannya masih memegangi kuat-kuat cangkir teh yang masih mengepul.

“Tak seharusnya aku membahas Danes di saat seperti ini. Maaf, Nar.”

“Aku baik-baik saja. Bagiku tak masalah. Danes bukanlah siapa-siapa,” potong Nara dengan cepat seolah merasa biasa saja meski di dalam hatinya bergetar hebat saat mengingat nama laki-laki yang selalu membuatkannya capuccino.

“Apa Danes mencariku?” tanya Nara ragu-ragu setelah meminum habis teh hangatnya.

Maura mengangkat bahunya. “Apa ini penting bagimu?”

“Danes mencariku?” desak Nara.

“Kau masih peduli?”

”Tidak Ra!” sahut Nara setelah menghela napasnya lalu menggeleng pelan meski hatinya mengiyakan.

“Lantas buat apa kau masih ingin tahu tentang Danes, Nar?”

“Dua hari yang lalu aku melihat mobil Danes.”

“Kalian bertemu?”

Lagi-lagi Nara menggeleng. “Mobil Danes tepat berada di depan mobil Rey.”

“Untunglah Nara, kalau kalian sampai bertemu, entahlah aku tak bisa membayangkannya.”

Aku justeru ingin sekali bertemu Danes Ra agar aku bisa menyudahi sandiwara ini.

“Kau sudah mendapat kabar dari Grizela?” Nara mencoba mengalihkan pembicaraannya dari laki-laki yang sejak kepergiannya membuat Nara merasa rindu sekaligus sangat bersalah. Entahlah.

“Nomor baru Grizela masih belum kutemukan. CCTV hanya menunjukkan dia menaiki taksi dibantu oleh salah satu perawat rumah sakit. Tapi aku dan dokter Lian akan terus mencari Grizela sampai dapat,” ujar Maura berusaha menenangkan Nara.

“Ya, sudah aku duga dia tidak akan semudah itu ditemukan karena semua akun medsosnya tidak aktif,” seru Nara kecewa seraya meletakkan cangkir kosongnya ke wastafel dan kembali duduk.

“Kau masih belum bisa terima Rey?” tanyaMaura pada sepupunya.

Nara berdecak. “Hei, ini baru hari ke dua aku bertemu dengan laki-laki asing itu, Ra. Sampai kapanpun rasanya aku tak akan bisa menerima Rey.”

“Kau yakin Nar?”

“Bukankah Rey sangat tampan dan juga baik?” Maura menambahkan.

“Iya, tapi Rey tak akan bisa meraih hatiku Ra. Rey milik Grizela bukan milikku.”

“Tapi Grizela sudah memberikannya padamu Nara.”

“Aku bukan barang Ra, yang bisa seenaknya diberikan begitu saja! Begitu juga dengan Rey!” Nara menyanggah dengan kesal.

Kedua matanya kembali perih mengingat sikap Grizela pada Nara. Menghilang begitu saja setelah Nara menerima tawarannya untuk menggantikan kembarannya sementara waktu.

“Ok, maaf kalau aku sudah salah berkata. Bersabarlah Nara. Mungkin hanya itu yang bisa kuucapkan.”

“Rasanya aku belum bisa menerima semua ini,” Nara mulai terisak-isak.

Lihat selengkapnya