Unfair Marriage

Shinta Puspita Sari
Chapter #17

17. KESEDIHAN DANES


Dua hari kemudian, saatnya event besar Danes berlangsung. Event yang menguras banyak pikiran dan tenaga namun menyisakan rasa syukur dan kelegaan yang luar biasa bagi setiap orang terutama Danes. Dihadiri ribuan undangan, sponsor dan pebisnis dengan bintang tamu artis ibu kota yang berkelas berhasil mengumpulkan milyaran dana yang rencananya akan disalurkan untuk pembangunan sekolah gratis di Papua dengan kurikulum yang mengembangkan keterampilan anak-anak. Lulusan sekolah tersebut diharapkan mampu mengembangkan bisnis yang memiliki daya saing kuat sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya untuk mengurangi jumlah pengangguran yang semakin bertambah.

Event yang dimulai dari pukul sembilan pagi, berakhir pada pukul sembilan malam ini, terselenggara dengan sukses berkat kerjasama semua pihak yang tergabung di dalamnya. Semua berjalan sempurna sesuai rencana. Kecuali satu hal, kisah cintanya. Danes merasakan kehampaan luar biasa. Tentang bagaimana seharusnya kekasihnya hadir untuk menjadi bonus dari pekerjaan mulianya ini.

Selepas semuanya selesai, keeseokan harinya, saat langit masih menghitam, Danes menelpon Maura. Dia mengatakan pada gadis yang sudah menjadi sahabatnya sejak masih duduk di bangku menengah pertama itu kalau Factory outlet miliknya tidak perlu buka.

“Katakan pada semua karyawan untuk satu pekan ke depan libur,” seru Danes dengan suara sedikit serak.

“Libur?”

“Ya, aku sudah menjanjikan itu pada mereka,” jawab singkat Danes lalu menutup teleponnya.

Maura tercengang dengan apa yang baru saja didengarnya. Beberapa bulan ini hampir Danes tak pernah meliburkan karyawannya sekalipun di tanggal merah. Maura lalu kembali mencoba menelepon balik Danes, namun gagal. Danes tak mengangkat teleponnya.

“Ada yang salah dengan Danes. Aku harus menemuinya,” pikir Nara dengan ponsel yang masih melekat di telinganya.

Tanpa banyak pikir, Maura bangkit dari ranjangnya, membersihkan diri lalu menaiki taksi yang dia pesan melalui aplikasi pada gawainya. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa sampai di apartemen Danes. Bukan karena jaraknya yang jauh, tapi karena posisinya yang terletak di pusat kemacetan Jakarta.

Sesampainya di gedung bertingkat itu, Maura menekan bel apartemen Danes beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Akhirnya gadis berkacamata itu mencoba menelpon Danes kembali. Entah sudah berapa kali Maura menelpon Danes namun tak diangkat.

“Apa Danes tak ada di apartemen?” pikir Maura seraya terus mencoba menghubungi ponsel Danes.

Setelah setengah jam, tiba-tiba terdengar seperti suara pintu dibuka.

“Danes?” tanya Maura sangat terkejut karena wajah laki-laki yang pandai meracik kopi itu terlihat sangat kusut.

“Masuklah Ra,” ajak Danes setelah membukakan pintu lalu berjalan gontai.

Maura masih berdiri dengan segala keterkejutannya pada laki-laki yang hampir tak bisa Maura kenali lagi. Gadis itu terdiam sejenak sebelum kemudian menyusul berjalan di belakang Danes.

“Duduklah,” seru Danes dengan wajah pucat pasi.

“Apa yang terjadi Danes?”

“Kau kenapa? Kau sakit? Apa kubilang, kau tak dengarkan aku bicara. Apa kau sudah makan? Sudah ke dokter?” cecar Mauradengan mengguncang tubuh Danes yang terasa lemas.

“Bangun Danes. Bangun!” seru Maura cemas karena mata Danes perlahan semakin menyipit karena lelah yang mendera tubuh laki-laki ini.

“Ya Tuhan, ayo kita ke dokter. Aku akan memanggil security untuk membantu mengangkatmu.” Maura menggeleng penuh empati memandangi wajah pucat laki-laki tampan ini.

“Dan membuat keributan? Aku baik-baik saja. Tak perlu ke dokter. Aku hanya butuh istirahat Ra,” Danes tertawa dengan kedua mata merapat dan suara melemah.

Lihat selengkapnya