Unfair Marriage

Shinta Puspita Sari
Chapter #18

18. DATANG TAK DIJEMPUT. PULANG TAK DIANTAR


Gadis penggemar capuccino itu mendefinisikan cinta seperti ritual memanggil jaelangkung. Datang tak dijemput dan pulang tak diantar. Perasaan rindu dan takut kehilangan tumbuh beriringan begitu saja lalu sedikit demi sedikit menjalari seluruh hati dan pikiran tanpa kecuali dan menjadikannya sebuah rasa untuk terus ingin berada di samping Rey.

Satu bulan setelah kepulangan mereka dari bulan madu di Nihiwatu Resort sepertinya ada yang berbeda dari roman wajah perempuan pecinta kopi itu. Beberapa minggu bersama Rey pada satu pulau indah membuat Nara merasa ada yang beriak di dalam di hatinya.

“Mungkin, aku mulai jatuh cinta?” ungkap Nara pada sepupunya melalui sambungan telepon.

“Serius?” Maura terperanjat dan hampir terjatuh dari kursinya.

“Secepat itu?” gadis berkaca mata itu seperti takjub seraya mendekatkan wajahnya pada cermin besar dihadapannya. Kedua bibirnya dilekatkan dengan selembar tisu lalu dioleskan kembali lipstik dengan warna yang lebih soft.

“Aku katakan mungkin. Bisa jadi aku hanya merasa terpukau sementara karena Nihiwatu resort yang luar biasa,” seru Nara sedikit menutupi karena Maura menilainya terlalu cepat.

“Ehm, bisa jadi. Kalaupun benar, ini di luar ekspektasiku,” seru Maura bercampur tawa bahagia karena sepupunya mulai merasa nyaman dengan keadaannya.

“Aku ikut senang mendengarnya Nar.”

“Apa kau sudah mendapat kabar tentang Grizela?” celetuk Nara melenyapkan tawa gadis bibliomania ini seketika.

Maura terdiam. Teringat beberapa hari yang lalu, dokter Lian pernah mengatakan pada Maura tentang keberadaan Grizela. Dokter Lian tak sengaja bertemu dengan Grizela di sebuah toko buku. Perempuan itu masih tinggal di wilayah Jakarta sebagai seorang penulis novel. Novelnya laku keras dipasaran dan menjadi best seller menggunakan nama pena yang berbeda. Gadis kembaran sahabatnya itu sempat menghindar dan berpura-pura tak mengenali dokter Lian. Tapi karena dokter Lian memaksa, akhirnya Grizela mau berbicara dengannya tapi dengan satu syarat. Penulis novel best seller itu meminta untuk tidak lagi dikaitkan dengan kehidupan Nara karena Grizela merasa hidupnya kini sudah tenang.

Setelah Maura dan dokter Lian memikirkan segala kemungkinan yang terjadi, mereka berdua pada akhirnya sepakat untuk tetap merahasiakan keberadaan Grizela. Bukan karena mereka menghianati Nara tapi mereka pikir Grizela sudah merasa nyaman dengan kehidupan barunya yang berat karena hanya memiliki satu kaki. Selain itu, Maura dan dokter Lian pun mengetahui sepertinya Nara mulai merasa nyaman bersama Rey.

“Sampai saat ini aku dan Lian belum mendapat kabar keberadaan Grizela Nar,” Maura mencoba menjawab pertanyaan sepupunya dengan suara sewajar mungkin.

“Kapan kau ke Jakarta?” tanya Maura mengalihkan pembicaaraan setelah memasangkan earphone di telinganya dan tangannya merapikan kembali riasannya.

“Jakarta?” Nara mengulang dengan wajah seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.

“Iya. Kau sudah lama tak mengunjungi apartemenmu Nara,” Maura membungkuk, tangan kanannya meraih sepatu kets lalu memakainya.

Seketika hati Nara terasa senyap.

“Mungkin nanti. Aku tak akan keberatan apartemen itu kau tempati. Bukankah itu lebih dekat dengan tempat kerjamu?” terdengar nada suara Nara seperti ingin menunjukkan dia sudah melupakan laki-laki yang sering memenuhi lemari pendinginnya dengan botol-botol berisi capuccino.

Maura kembali terdiam beberapa detik sampai tangannya selesai mengikatkan tali sepatu yang dia pakai.

“Lebih baik tidak. Aku tak mau menyakiti Danes. Tempat itu menyimpan banyak kenangan Danes bersamu Nar,” pikir Maura dalam hati setelah menegakkan punggungnya.

“Kurasa aku sudah nyaman di tempat lamaku,” sahut Maura sembari bangkit.

Terdengar pintu apartemen Maura berbunyi.

“Nara wait, sepertinya ada yang datang,” ujar Maura sambil berjalan membukakan pintu.

“Oke,” jawab Nara singkat dan masih membiarkan ponselnya terhubung dengan sepupunya.

Betapa terkejutnya Maura saat melihat Danes sudah berdiri di balik pintu dengan wajah maskulin yang memesona.

Kedua bola mata Maura membelalak. Dia langsung mematikan ponselnya.

“Hai Maura,” sapa Danes santai seraya berjalan masuk melewati Maura yang berdiri dengan wajah terkejut. “Jam berapa kau pergi. Aku antar ya!” ucap Danes setelah melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya lalu menyandarkan badannya begitu saja pada sofa pemberiannya tiga tahun yang lalu saat Maura pertama kali pindah ke apartemennya.

Maura masih berdiri gagap dengan keringat dingin yang mulai mengucur. Danes duduk mengangkat satu kakinya dan tangannya mulai membolak balik halaman majalah yang tersimpan di atas meja.

“Ra!” panggil Danes kembali. Kali ini laki-laki berwajah maskulin ini memanggil Maura dengan suara sedikit lebih keras.

Lihat selengkapnya