Liburan ke Pulau Taliabu tak seindah apa yang dibayangkan oleh Nara. Perempuan introvert itu tak penah membayangkan dirinya akan bertemu kembali dengan laki-laki yang sempat membuat dirinya nyaman bahkan kehilangan.
Tak banyak yang bisa Nara lakukan sejak Rey pergi untuk menemui Danes. Membicarakan kerjasama mereka berdua untuk mengembangkan wisata di Pulau Taliabu ini. Nara beralasan tubuhnya lelah setelah bermain pasir di Pantai. Rey memang laki-laki yang pengertian. Dia tak memaksa Grizela untuk selalu menurutinya.
Selama dua jam Nara membisu, namun tidak dengan pikirannya. Ada rasa menyesal mengapa dia harus bertemu Danes di Pulau ini. Sesekali kedua tangannya memegangi kuat kepalanya yang terasa penat. Matanya memerah seakan siap untuk memuntahkan air mata yang semakin lama semakin mendesak kuat.
“Apa yang harus kulakukan?” Nara mulai terisak dengan kebuntuan pikirannya.
Nara bangkit lalu berjalan mondar mandir tak pasti. Raut wajahnya penuh dengan ketakutan yang tak bisa ditutupinya lagi.
Seketika terbesit dalam pikiran Nara untuk menghubungi seseorang. Nara meraih ponselnya yang ada di saku bajunya lalu dengan cepat menekan beberapa nomor yang dia hapal di luar kepalanya. Namun gagal. Perempuan cantik itu kemudian mencoba menelepon sahabatnya, Lian. Tapi beberapa kali, tak ada respon. “Mungkin Lian sedang ada pasien,” pikir Nara mencoba meyakinkan diri.
Beberapa menit kemudian Nara mencoba menghubungi Lian kembali, namun tetap gagal. Hanya terdengar suara mesin otomatis yang menjawab telepon Nara.
“Shit!” Nara melempar ponselnya ke ranjang lalu duduk di tepian kasur.
Lagi-lagi Nara menarik paksa napasnya yang benar-benar sesak. Ya seperti ada yang menekan kuat dadanya. Nara menundukkan kepalanya dengan bahu yang semakin melemah. Nara yakin kebohongannya akan segera berakhir di sini. Perempuan yang berusaha keras menutupi identitas sebenarnya itu lalu menangis sejadi-jadinya. Meluapkan segala ketakutannya sebelum Rey datang dan perempuan cantik itu kembali menjadi Grizela.
Firasat Nara benar, tak lama kemudian terdengar suara Rey memanggil. Nara terkejut, mengangkat kepalanya yang terasa berat itu dengan cepat. Wajahnya masih dipenuhi dengan kecemasan yang luar biasa. Perempuan yang berpura-pura menjadi Grizela itu dengan cepat mengusap air matanya lalu bangkit dan bercermin. Memandangi wajah dan kedua mata cantiknya yang basah beberapa detik sebelum kemudian terdengar suara Rey yang memanggil dirinya untuk yang kedua kalinya.
“Zel, kau di mana sayang?” teriak Rey memanggil.
Nara tak menyaut. Sengaja membiarkan Rey mencarinya. Nara bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan membasuh wajahnya sebelum Rey benar-bebar menemukan dirinya. Nara berada di kamar mandi cukup lama. Tangannya membungkam mulutnya sendiri. Nara menangis. Sesekali Nara menarik napasnya yang masih terasa sesak, lalu embuskan dengan pelan. Begitu seterusnya sampai perempuan cantik itu berhasil menenangkan diri.
“Zel? Apa kau di dalam?” tanya Rey setelah mengetuk pintu kamar mandi.
“Iya Rey!” jawab Nara dengan suara tertahan bercampur dengan suara air kran yang cukup deras.
“Sebentar,” Nara melanjutkan setelah mematikan kran air.
Rey duduk di sisi ranjang menunggu Grizela. Tak lama lalu Nara keluar dengan wajah yang dibuat seperti biasa meski hatinya gemetar hebat.
“Sini sayang,” ajak Rey meminta Nara untuk duduk di sampingnya saat Nara baru keluar dari kamar mandi.
“Bagaimana tadi?” seru Nara dengan hati-hati mencoba memulai percakapan setelah Nara menghampiri Rey lalu ikut duduk di sampingnya.
“Ternyata aku dan Danesh satu frekuensi. Kau tahu Zel?”
Nara menggeleng halus.
“Kami sepakat menjadikan Pulau Taliabu sebagai wisata yang patut kita dukung,” senyum Rey melebar.
Rey lalu meraih kedua tangan Grizela. Menggenggamnya erat, menciuminya kemudian memandangi wajah cantik isterinya.
“Zel,” sapa Rey dengan wajah tak biasa.
Nara membuka matanya lebar-lebar. Dadanya semakin berdesir kuat. Tak lama lalu Nara menundukan pandangannya. Menyembunyikan ketakutan di wajah cantiknya karena untuk saat ini berhadapan dengan Rey, laki-laki yang kini sudah menjadi suaminya seperti berhadapan dengan bom waktu yang akan segera meledak lalu menghancurkan hidup Nara.
“Zel,” sapa Rey pendek sebelum kemudian Rey kembali terdiam.
Degup jantung Nara semakin tak beraturan. Begitu juga dengan pikirannya.
“Tak apa kalau kau kutinggal di sini beberapa hari?” ucap Rey dengan hati-hati.
Nara terkejut dan mengangkat kepalanya tiba-tiba. Kedua matanya membelalak. Lalu menggeleng cepat meski Nara belum tahu apa yang akan Rey katakan padanya. Tapi saat ini Nara hanya menginginkan dirinya dan Rey segera pergi dari Pulau Taliabu ini.
Rey tersenyum lalu mengusap kepala perempuan cantik di hadapannya itu sebelum kemudian mengecup ubun-ubunnya beberapa kali dan kembali menggenggam kedua tangan Nara.
“Aku tak mau mengecewakanmu Zel. Perjalanan kita sangat jauh sampai di Pulau ini. Sangat disayangkan kalau besok kau kembali lagi ke Bandung. Aku ada meeting yang tak bisa kutinggalkan.”
“Besok?” tanya Nara memastikan pendengarannya benar.
Rey mengangguk.
“Aku ikut!” seru Nara antusias.
Rey menggeleng halus. “Aku hanya sebentar. Setelah urusanku beres, aku akan segera kembali sayang.”
“Bukankah kau masih menginginkan bulan madu kedua kita?” ledek Rey.
Nara terdiam, kedua bibirnya mengatup rapat. Rey rupanya tak berhasil membuat Grizela tersenyum.
“Hei! Kau baik-baik saja kan?” tanya Rey cemas. Jemarinya mengusap lembut bibir Nara.
Nara tetap bergeming.
“Maafkan aku Zel. Aku berjanji akan segera kembali,” Rey merengkuh tubuh Nara beberapa saat dan membiarkan kepala Nara bersandar pada bahu Rey.
“Tapi, aku takut...” seru Nara setelah Rey melepaskan pelukannya.