Unfair Marriage

Shinta Puspita Sari
Chapter #23

#23 DIA YANG KEMBALI

Pagi di Pulau Taliabu terasa berbeda bagi Nara. Bukan saja karena diguyur hujan tapi perempuan cantik ini bangun sangat terlambat. Nara perlahan membuka matanya yang masih terasa berat. Diliriknya jam kayu yang menggantung tepat di depan ranjangnya. Jam menunjukan pukul 09.30 WIT.

“Ya Tuhan. Kesiangan,” Nara terburu-buru bangkit dan memanggil Rey, namun tak ada sahutan dari Rey. Nara lalu duduk di kursi yang menghadap lemari tiolet seraya mengingat sesuatu.

Perempuan itu memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Kepalanya masih terasa pusing. Tiba-tiba pandangan Nara tertuju pada meja kecil di samping ranjang. Ada semangkuk sup yang sudah tak lagi hangat. Di sampingnya ada selembar surat yang terbuat dari kertas daur ulang berwarna cokelat dengan hiasan bunga kering edelweis di sisi bawahnya. Entah dari mana Rey mendapatkan kertas secantik ini.

Nara lekas mengambil ponselnya dan menghubungi Rey beberapa kali, namun gagal.

“Mungkin Rey sudah take off,” pikir Nara sedikit menyesal karena tidak bisa melihat Rey sebelum dia pergi.

Perempuan yang sudah melupakan cappucinonya itu lalu mengambil surat yang tergeletak di meja dan membacanya perlahan.  

Dear sayang,

Makanlah sup ayam yang sudah kupesankan untukmu sayang. Spesial untuk perempuan yang kucintai. Maaf aku sengaja tak membangunkanmu. Kulihat kau begitu lelah dan aku harus segera pergi sebelum matahari terbit.

Oh iya, pukul 10 pagi Danesh akan menjemputmu. Aku memintanya untuk menemanimu berkeliling Pulau Taliabu ini Zel. Kau juga bisa mengajaknya menyelam. Kurasa dia jauh lebih andal dalam hal ini. Kau bisa jadikan dia guru menyelammu sayang.

Sorry, aku sudah mengecewakanmu. Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa makan dan aku berjanji akan segera kembali setelah urusanku selesai.

                                                                                                           Dariku yang mencintaimu,                                                                                                                                                                                                                                                                 Rey Aditama


“Ya Tuhan! Jadi benar Rey meminta Danesh untuk menemaniku di sini,” tukas Nara dalam hati setelah mengembuskan napasnya.

Nara masih mematung di atas kasur. Entah apa yang ada di pikirannya. Sebelum kemudian sebutir air mata menetes begitu saja dari kedua ujung mata Nara. Dadanya kembali terasa seperti ada yang menekan kuat. Saat kuat. Wajahnya memucat. Seketika tubuhnya menjadi dingin. Nara lalu memutuskan untuk menarik kembali selimutnya dan tertidur. Tak hiraukan jam dinding yang  sudah berdetak sepuluh kali.

Tak lama suara ketukan terdengar dari pintu utama. Nara mencoba beranjak, tapi tubuhnya yang lemas membuat Nara tak mampu. Ketukan kembali terdengar selang beberapa saat. Nara kembali mencoba terbangun pelan-pelan. Perempuan berkulit putih itu berjalan terhuyung-huyung.

“Tunggu,” seru Nara sengau dari balik pintu. Tangannya memegangi kuat daun pintu seakan mencoba bertahan, berdiri dengan kedua kaki yang gemetar. Sejak semalam Nara memang belum mengisi perutnya.

Nara membukakan pintu. Dan betapa terkejutnya, sosok laki-laki menjulang berdiri di hadapannya.Wajah Nara semakin memucat. Nara memilih untuk menundukan pandangannya dari laki-laki yang semalam baru saja ia temui.

“Danesh?” seru Nara dengan wajah keterkejutannya.

Nara mencoba menutup kembali pintu, namun Danesh menahannya kuat.

“Nara kumohon, kita perlu bicara.”

“Tidak Danesh. Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan,” timpal Nara dengan denyutan di kepala yang semakin terasa kencang.

“Rey menitipkanmu padaku.”

Nara terdiam. Rona wajah perempuan itu langsung berubah. Kedua matanya terlihat sedikit basah. Nara memundurkan langkah kecilnya dan membukakan pintu lebar-lebar.

“Masuklah.”

“Kau sakit?” tanya Danesh tertegun melihat Nara terlihat pucat.

Nara menggeleng.

“Kau terlihat pucat Nar.”

Lagi-lagi Nara kembali menggeleng. “Aku hanya lelah saja karena begadang semalaman.”

Danesh melekatkan punggung tangannya di kening Nara.

“Kau demam Nar!”

“Lepaskan!” Nara melepaskan punggung tangan Danesh.

“Kita ke dokter sekarang!” Danesh menarik lengan Nara namun perempuan yang sempat mempertanyaan kebenaran hatinya pada Danesh itu menguatkan kakinya agar tak melangkah.

“Ayo, kita ke dokter Nar!” bujuk Danes sedikit memaksa, matanya menatap wajah perempuan itu lekat-lekat.

Kali ini Nara menggeleng dengan kuat. “Tak perlu. Aku hanya butuh istirahat,” tukas Nara dengan dada bergetar hebat setelah membalas tatapan Danesh lalu membuang pandangannya begitu saja.

Danesh menghela napas panjangnya, melepaskan tangannya dari lengan perempuan keras kepala itu lalu duduk. Wajahnya terlihat tak tenang. Entah karena kecemasan pada perempuan yang berada di hadapannya atau memang ada banyak kata yang hendak ia lontarkan tapi mulutnya seperti terkunci rapat.

Mereka terdiam beberapa lama. Sesekali mereka beradu pandang tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulut keduanya. Nara tetap mencoba tenang, meski gusar melanda karena waktu terasa berjalan sangat lambat. Begitu juga dengan Danesh. Tak banyak yang bisa laki-laki itu lakukan selain duduk menunggu siapa yang akan lebih dulu memulai obrolan.

Lihat selengkapnya