Unfinished Business - Dineshcara

KATHERINE PRATIWI
Chapter #1

Prolog

Langit mulai mendung. Suara gemuruh saling bergantian menyombongkan diri. Orang-orang bahkan takut untuk beraktifitas tanpa atap. Salah satunya Dineshcara. Gadis itu menatap ujung safety shoes yang kotor tanah liat. Tangannya penuh dengan kumpulan kertas design. Dines tersenyum saat semut dengan nakal naik ke sepatunya.

“Nes.”

Dines mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan orang yang sejak kemaren berjanji untuk menjemput. Berpura-pura kesal, Dines menghentakkan kaki lalu menghampiri pria itu. Dengan cepat dia naik ke boncengan sepeda motor setelah memakai helm. Mereka membelah jalan di Medan dengan cepat. Takut hujan mendahului sebelum tiba di tujuan.

Dines menatap bangunan yang dilewati dengan sendu. Dulu, pernah sekali dia melewati jalan ini bersama orang yang berbeda. Bersama orang yang kiranya akan menjadi teman hidupnya. Ternyata, Tuhan tidak mengikat benang merah di antara mereka menjadi satu. Mereka berbeda pilihan disimpang perjalanan. Dan Dines harus puas ketika dia berbalik, orang tersebut telah pergi jauh. Tak terkejar.

“Penerbangan malam ?”

Dines melepas helm lalu mengangguk. Tangannya merapikan cardigan yang kusut karena terkena kencangnya angin. Lawan bicaranya masih menunggu Dines membuka mulut. Menunggunya dengan sabar dengan mata yang tak lepas dari Dines.

“Nes, lo sehat ?”

Dines menoyor dahi pria yang masih mengenakan helm lalu menggetuknya.

“Menurut lo?”

“Ya sehat.”

Dines tidak memperdulikan perkataan pria itu lagi. Dia melambai lalu masuk ke lobi kantor yang ada di tanah Medan ini. Waktu memburunya untuk segera bersiap kembalipulang ke tanah padat penduduk, tempatnya mencari nafkah. Dines menyelesaikan laporannya lalu menarik koper saat supir yang ditugaskan untuk mengantarnya sudah ready. Dines mempercepat langkahnya, semakin cepat hingga sedikit berlari kecil ketika tiba di counter check in.

Gate paling ujung, gate 11 membuat Denis harus berlari kecil. Berlari pun kenangan juga ikut berlarian di otaknya. Sampai di Gate, Dines duduk dengan nafas terengah. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum para petugas menyuruh penumpang naik ke pesawat. Denis, yang hari ini menggulung rambutnya asal, membuka tas, mengambil botol perfume dan menyemprotnya ke beberapa titik. Maklum, dia habis dari lokasi proyek dan langsung menuju bandara. Tidak ada waktu untuk mandi.

Saat petugas menyuruh mereka untuk mengantri, Dines sengaja berdiri paling akhir. Dia malas berdesakan. Toh kursinya tidak hilang. Ini bukan angkot. Maka, saat gilirannya, Dines menyapa pramugari lalu duduk dengan tenang. Tangannya mencari setting-an untuk mengaktifkan mode pesawat. Sejenak dia terpaku setelah berhasil. Layar ponsel keluaran terbaru itu masih menyala menampilkan foto sepasang anak manusia yang saling tersenyum lebar menampakkan gigi. Berlatar belakang pemandangan kawah putih. Dines hampir menangis jika pramugari tidak menegurnya untuk menyimpan ponsel.

Hatinya kembali bergemuruh. Rindu itu masih ada. Masih terasa. Cerita mereka belum usai, tapi harus dipaksa usai. Dines menatap jendela, pesawat baru saja take off.

‘Ada yang ngajak aku nikah, Jonnah. Tapi, aku belum sembuh. Tolong aku, pergi dari hidupku.’

Dines melihat ke kiri lalu tersenyum saat seorang anak ternyata memperhatikannya. Ternyata anak itu aktif tersenyum padanya, terutama saat tanda sabuk pengaman dimatikan. Pikiran Dines kembali ke seorang pria yang pasti sudah menunggunya di terminal kedatangan.

‘Aku tidak mau menyakitinya, Jonnah. Sungguh. Tolong jangan lagi datang ke mimpiku.’

 

***

Lihat selengkapnya