“Jonnah.”
Jonnah mengangkat kepalanya saat Armar, ayahnya, memanggilnya dari pembatas ruang makan. Armar meletakkan berkas di meja lalu pergi ke kamar. Hari masih siang, Jonnah beranggapan pasti Armar mengambil sesuatu yang tertinggal. Keteledoran ayahnya yang tidak pernah hilang. Jonnah menghabiskan makannya lalu mengambil amplop berkas yang tadi diletakkan Armar. Perlahan Jonnah membuka dan terlihat formulir pendaftaran salah satu sekolah yang ada di Belanda.
Jonnah membulatkan matanya saat melihat nama adik nya tertera disana. Untuk apa formulir ini ? Bukannya adiknya akan tamat dari sekolah internasional bergengsi di Jakarta lima bulan lagi dan akan meneruskan jenjang berikutnya di sekolah yang sama ? Jonnah sudah mengurus pendaftarannya beberapa hari lalu. Lalu ini apa ? Jonnah menyusul Armar yang tenyata sedang memakai sepatu di beranda depan. Ia menjulurkan amplop coklat lalu menuntut Armar untuk menjelaskan.
“Papa ke kantor dulu. Nanti kita bahas. Tunggu Rain yang menjelaskan terlebih dahulu.”
Jonnah tidak lagi menghalangi kepergian Armar. Ia memutuskan untuk ke kamar adiknya, Jonnah memeriksa semua laci dan lemari yang menaruh curiga. Inspeksinya bulan lalu sepertinya melewatkan sesuatu. Adiknya berubah sejak beberapa tahun lalu. Kewaspadaannya terpaksa meningkat drastis saat mengawasi Rain. Ia tidak bisa lengah, kalau tidak akibatnya seperti siang ini. Dia mendapat formulir pendaftaran ke sekolah baru dan itu jauh di luar negeri.
Jonnah memeriksa laci teratas di samping tempat tidur Rain. Ada satu map berisi paspor dan juga booklet sekolah yang sama. Jonnah menarik nafas lalu menghembuskannya. Ia membawa map itu ke kamarnya. Lihat saja, ia akan membantai habis adiknya itu. Jonnah menutup pelan pintu kamar Rain dan disambut dengan wajah mengantuk adik paling bungsunya. Ia mengulurkan tangan untuk mengelus rambut si bungsu. Ada senyum tipis yang tidak terlalu kentara. Setelah itu, Jonnah ke kamarnya. Mengunci pintu kamarnya karena makhluk kecil berusia empat tahun itu sudah bisa membuka pintu dan mengobrak-abrik kamarnya.
***
Rain kalah cepat dengan Jonnah untuk mengambil map berisi berkas-berkasnya di meja yang ada di ruang kerja Armar. Mereka bertiga sedang duduk melingkar mengelilingi meja tersebut. Seakan sidang terbuka, Armar dan Jonnah menatap Rain dengan tatapan penuh curiga. Beruntung untuk Rain karena Jonnah belum berbicara sedikitpun. Kalau Armar, Rain bodo amat. Ia tidak peduli jika ayahnya berteriak atau melakukan apa pun. Yang membuatnya ciut adalah tatapan tajam Jonnah yang menusuk kepalanya.
“Jelaskan.” perintah Armar lembut.
Rain melengos malas sambil menyandarkan tubuhnya ke belakang. Ia melipat tangannya di dada lalu menyilangkan kakinya. Ia pasang muka meyakinkan jika tidak akan kalah dari ayah dan kakaknya.
“Rain.” Panggil Armar dengan nada pelan.
“Aku gak mau disini. Aku mau pindah.”
“Pindah kemana sayang ?” tanya Armar berusaha selembut mungkin.
Putrinya ini tidak seperti putrinya delapan tahun lalu. Anak perempuan manis penurut dan ceria. Sekarang yang ada di hadapannya anak perempuan pembangkang yang tidak lagi pernah memberi senyum untuknya. Senyumnya sangat mahal. Dan ia tidak bisa membeli dengan semua uang yang dia punya. Miris.
“Bukannya Jonnah sudah mendaftarkanmu di sekolah yang sama ?”
Rain menatap benci Armar. Ia menegakkan duduknya lalu melirik sekilas Jonnah yang ada di samping Armar.