Unfinished Business - Dineshcara

KATHERINE PRATIWI
Chapter #5

Rain Jonnah

“Sampai kapan kamu mau seperti ini ?”

Rain tidak menghentikan langkahnya walau Jonnah berdiri menunggunya di depan pintu kamar.

“Mulai menganggapku kasat mata ?” tanya Jonnah sekali lagi.

Tak ada respon berarti dari Rain yang sudah menuruni tangga tanpa berhenti untuk menanggapinya, Jonnah kembali ke kamar untuk mengambil tas. Dia ada kelas jam sembilan hari ini. Sesampainya di anak tangga terakhir, Jonnah mendengar suara memelas dari Armar yang meminta Rain untuk menerima ajakannya pergi bersama.

“Papa antar ke sekolah ya ?” bujuk Armar di ruang makan.

Jonnah memperhatikan interaksi keduanya. Armar yang memohon dan Rain yang tidak mempedulikan. Ini sudah berlangsung selama lima tahun lamanya. Bukan hal yang aneh lagi untuk Jonnah. Jonnah menyeruput susu hangat saat mendengar suara klakson mobil yang ia hafal. Mobil salah satu sahabatnya. Pasti menjemput Rain. Para sahabatnya itu memang memanjakan Rain. Bukan hanya Rain sebenarnya, Caca, adik Jo, juga sangat dimanja mereka. Tidak ada yang bisa melarang. Karena hanya Jo dan dirinya yang memiliki adik. Dan semua sahabatnya mengklaim Rain dan Caca sebagai adik mereka juga.

“Selai apa ?” tanya Amanda, ibu sambungnya yang sudah memegang selembar roti tawar.

“Tidak, terima kasih.” jawab Jonnah.

Jonnah memang tidak berniat untuk sarapan. Segelas susu cukup untuknya. Semakin dewasa dirinya, semakin dia jarang untuk sarapan di rumah, apalagi jika tidak ada Rain. Hidupnya memang hanya seputar Rain. Jonnah mengangkat tasnya ke pundak lalu mengelus kepala anak perempuan lima tahun lalu berpamitan pada Armar dan Amanda.

Sedewasa ini saja, Jonnah masih belum bisa menerima keberadaan Amanda di tengah keluarga mereka, ditambah dengan hadirnya Veera. Jonnah tidak bisa menyalahkan Rain yang membenci Amanda. Pikiran polos Rain hanya mengacu pada Amanda yang merebut tempat ibu kandung mereka. Amanda menusuk ibu mereka dari belakang. Jonnah juga sempat berpikir seperti itu. Dulu. Sebelum dia menemukan bukti yang cukup mencengangkan.

 

***

Jonnah mampir ke kantin teknik untuk menemui Bima. Orang yang mengantar Rain ke sekolah. Kelasnya sudah usai, dia hanya perlu bimbingan sore nanti dengan salah satu profesor. Jonnah melihat Bima yang sedang ngobrol dengan salah satu teman yang tidak di kenal Jonnah. Senyum jahil langsung terpatri di bibir Jonnah. Dengan iseng dia memfoto Bima dari jauh lalu mengirimnya ke grup chat mereka. Hal yang langka melihat Bima berbicara nyaman dengan seorang wanita.

Tak lama ponsel Jonnah dan Bima kebanjiran notifikasi. Bahkan Ganesha yang sedang ada di Jepang saja ikut mengomentari. Bima yang tidak tahu dirinya bisa menjadi objek perbincangan, melihat sekeliling lalu menemukan tersangka utama. Jonnah yang yang sedang tertawa di balik tembok.

“Kurang ajar.” desis Bima.

Jonnah menghampiri Bima bertepatan dengan pamitnya teman bicara Bima. Senyum jahil itu masih ada dan membuat Bima muak.

“Fitnah lo.”

“Lah, kan gue lihat pake mata gue. Lo senyum-senyum gitu, tumben.”

Bima mengacak rambutnya, stress dengan tuduhan tidak berlandas Jonnah. “Kakak kelas.”

“Gak terima alasan gue.”

“Sial lo.”

Jonnah tertawa terbahak-bahak melihat wajah kusut Bima.

“Dia minta jemput ?” tanya Jonnah langsung.

“Iya. Kenapa sih ?”

“Lo anterin sampe depan gerbang tadi ?” tanya Jonnah

“Iya.” jawab Bima sambil membuka laptopnya. “Kalian berantem kenapa lagi?” tanya Bima.

Lihat selengkapnya