Unfinished Business - Dineshcara

KATHERINE PRATIWI
Chapter #6

Hati Dineshcara

Dines menyerah, dia butuh waktu libur. Tugas mudah sampai tugas menggambar yang menumpuk, lab yang buat pusing, belum lagi kegiatan organisasi yang diikuti, ditambah lagi dengan lomba minggu depan, cukup untuk menguras energi. Besok hari Sabtu dan ada cukup waktu sekitar tiga jam untuk tidur dengan puas. Sebelum ia membabat habis semua tugasnya.

“Neng, udah di jemput tuh.” Teriak si mbak dari bawah.

Dines mengambil asal laptopnya lalu menyantolkan tas kuliahnya. Berlari kecil hingga ke mobil yang membuatnya terpaku. Mobil milik Jonnah. Bukannya yang harus menjemputnya untuk berdiksusi itu Bima, lalu kenapa Jonnah yang muncul di hadapannya ? Jendela penumpang sebelah pengemudi terbuka dan muncul wajah Bima yang sama lelahnya dengan wajahnya.

“Di anterin lebih nyaman di banding pergi sendiri. Naik.”

Dines membuka pintu belakang dan ternyata ada Rain yang sedang memejamkan mata. Dines masuk dengan perlahan lalu menutup pintu dengan sama pelannya. Takut mengganggu tidur sang macan cantik. Dia dan Rain tidak terlalu akur. Dan semakin tidak akur sejak Dines putus dengan Jonnah.

Dines mengambil lembaran kertas yang di sodorkan Bima dari bangku depan. Dines membacanya dengan seksama. Mereka berdiskusi tanpa mempedulikan Jonnah dan Rain. Setidaknya mereka harus menang lomba ini. Agar tidak membuang-buang uang dan waktu yang sudah mereka keluarkan.

“Ntar di sana ada Kak Ilyas, bantu kita untuk pahami materi.”

“Oke. Dia menang tahun lalu kan ?”

Bima mengangguk. Dines memasukkan lembaran kertas dan laptopnya ke dalam tas dan tak sengaja mengenai paha Rain hingga gadis remaja itu terbangun. Matanya menatap nyalang ke arah Dines. Masih belum jinak ternyata, bisik Dines dalam hati.

“Arsitek semenyenangkan itu ?” tanya Rain tiba-tiba.

“Iya.” Jawab Bima dan Dines kompak.

Rain mengangguk lalu kembali memejamkan mata. Dines mengernyitkan dahinya. Ia masih belum menemukan kecocokan dengan gadis itu. Sejak dulu. Ia seperti monster yang merebut Jonnah dari Rain. Sehingga Rain memasang wajah perang setiap mereka bertemu. Bahkan saat hubungan Jonnah dan Dines berakhir pun, Rain tidak melunak sama sekali.

Jonnah memakirkan mobilnya di salah satu kos yang ada di kawasan setia budi. Bima turun begitu juga dengan Dines. Dines mengucapkan terima kasih dengan suara amat sangat pelan. Hampir tidak terdengar sama sekali.

“Kabari aja pulang jam berapa, ntar gue mampir.” kata Jonnah pada Bima.

Setelah mobil itu berlalu dari hadapan Bima dan Dines, mereka berdua masuk ke kosan yang langsung disambut meriah Ilyas, salah satu senior kampus yang menjadi mentor mereka.

Dua jam Dines dan Bima berdiskusi dan sesekali mendengar penjelasan dari Ilyas. Hingga jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Dines merapikan peralatannya, begitu juga dengan Bima. Ilyas menyodorkan dua piring sate ke adik kelasnya lalu duduk dihadapan Dines. Dia menatap Dines ingin tahu.

“Lo gak ada niatan untuk balikan sama Jonnah?”

Dines yang di tembak dengan pertanyaan seperti itu hanya diam lalu mengerutkan dahinya.

“Bukan dia yang gak ada niatan, Jonnah nya yang gak mau.” kata Bima sadis.

Dines langsung menunduk sedih. Jika dilihat, memang sepertinya Jonnah sudah membuatnya sejak lama. Banyak bukti, salah satunya Jonnah tidak pernah berniat membuka obrolan dengan dirinya atau Jonnah memilih pergi jika dia ikut dalam gerombolan geng rusuh.

“Serius, si Jonnah udah gak demen sana nih anak ?” tanya Ilyas penasaran.

“Iya.”

“Beneran ?” kali ini Dines yang bertanya.

Bima dan Ilyas sampai tersenyum mendengar nada suara itu yang tinggi itu.

“Jonnah itu tipe predator, pemburu. Dan lo tahu sendiri, kalau Jonnah udah mau sesuatu, dia akan kejar sampai dapat. Sama kayak lo kemaren kan ? Jonnah kejar-kejar lo sampe akhirnya lo nyerah.” Dines mengangguk mendengar pernyataan Bima. “Terus sekarang, ada gak Jonnah dekatin lo lagi ?”

Dines menggeleng pelan. “Nah, artinya apa ? Yaudah dia gak tertarik lagi sama lo. Lo bukan mangsa yang menarik.”

Dines menghela nafas pelan. Ia kembali menekuri piring satenya. Memakannya perlahan. Selera makannya sudah hilang. Tidak tersisa sedikitpun.

“Lo aja yang gantian kejar sekarang.” saran Ilyas. “Gimana, Bim?”

“Kalau punya nyali, silahkan.” Kata Bima menyingkirkan piringnya. “Dengan syarat. Sekali lo berhasil dapet Jonnah, jangan pernah dilepas lagi.”

 

***

 

“Jonnah mana Tante?” tanya Jo pada Amanda yang bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit.

“Di kamar Rain.”

“Naik ya Tan.”

Lihat selengkapnya