“Jangan sedih.Ada aku disini.”
Dines langsung minum air begitu selesai berkata seperti itu. Terima kasih pada lampu kuning,wajah merahnya tersamarkan. Kali ini Dines rela noda-noda atau minyak di wajahnya merajalela asal rona merah karena malunya tersamarkan. Jonnah masih diam tidak membalas perkataannya. Dines jadi serba salah. Siapa dirinya hingga Jonnah tidak boleh bersedih. Demi Rain dirinya saja ditinggalkan.
Dines meletakkan uang lima puluh ribu di meja lalu hampir berdiri saat lengan jaket angkatan di tahan Jonnah. Dines melihat Jonnah kebingungan. Makanan mereka sudah habis.Untuk apa bertahan di sini. Untuk semakin mempermalukannya karena berbicara tanpa berpikir ?
“Uang kamu kurang sepuluh ribu.” kata Jonnah.
Dines hampir pingsan mendengar itu. Dengan kesal dia menarik selembar lima puluh ribu yang tadi dia letakkan lalu berjalan sambil menghentakkan kaki ke kasir. Jonnah bisa melihat mulut Dines komat-kamit memakinya tanpa suara. Dia sengaja membiarkan Dinas Yang membayar. Percuma jika dia berbaik hati menawarkan akan membayar, pasti ada perdebatan lanjutan.
Jonnah sudah menaiki motor saat Dines berjalan dengan wajah ditekuk menghampirinya. Wajah tidak bersahabat itu yang kadang dirindukan Jonnah. Jonnah menyodorkan helm ke Dines yang diambil dengan kasar.
“Salahku apa ?”tanya Jonnah tanpa dosa.
“Gak ada yang mulia.”
Jonnah terkekeh,ia menunggu Dines naik di belakang. Setelah memastikan Dines aman dan mewanti-wanti untuk tidak mengantuk, baru Jonnah menjalankan sepeda motornya ke rumah Dines. Tidak lama, hanya sepuluh menit.
Mereka sampai di halaman rumah Dines dan seketika Dines memaki Bima dengan makian yang menyakitkan. Jonnah yang bingung mencari sumber amarah Dines. Ternyata, maket yang tadi dititipkan pada Bima dan Jo tergeletak begitu saja di depan pagar.
Dines mengambil ponsel dari saku lalu menelepon Bima dan Jo bergantian. Seperti tahu akan dimarahi, keduanya kompak tidak mengangkat panggilan tersebut. Segera saja Dines mengirimkan pesan kata-kata makian yang kadang membuat Jonnah menegur Dines. Setelah mantan kekasihnya itu menyimpan kembali ponselnya, Jonnah menarik ujung tas Dines.
“Gak rusak itu.”
“Iya tapi teman lo kurang ajar. Apa salahnya coba manggil mbak gue di rumah. Awas aja tuh dua bocah besok. Habis mereka.”
Jonnah masih menunggu luapan emosi Dines mereda. Karena dia tidak mau kesalahannya juga terkuak. Setelah emosi Dines mereda, Jonnah menarik helm yang masih ada dalam pelukan Dines.
“Masuklah, sudah terlalu malam.”
Dines tidak bergerak dari tempatnya. Dia masih diam lalu menunduk. Melihat Jonnah tertawa hari ini memang membuat tenang. Tapi yakinlah, selepas mereka berpisah pasti Jonnah akan kembali murung. Dines sering mendapati Jonnah seperti itu dulu.
“Gue masuk.”
Jonnah melambaikan tangannya.
“Tapi…”
Jonnah dengan sabar menunggu Dines mempersiapkan diri untuk berbicara.
“Jangan sedih lagi Jonnah.” kata Dines sambil menunduk.
Jonnah memiringkan kepala memperhatikan Dines. Jonnah menyelipkan rambut Dines ke belakang telinga.
“Jangan abaikan aku kalau kamu gak mau aku sedih..”
Dines tidak membalas perkataan Jonnah. Dengan terburu-buru dia masuk ke rumah tanpa mengucapkan selamat tinggal. Jonnah tidak heran lagi, dia sudah hafal Dines luar kepala. Ia biarkan Dines menutup pintu baru pergi dari rumah mantan kekasihnya itu.