“Udah ACC ?”
Bahu Dines turun dengan lesu. Dia capek asistensi yang tidak berujung. Lembar asistensinya saja sudah beberapa kali ganti saking seringnya dia bertemu dosen itu. Bima yang menemaninya sejak siang turut berduka. Nasibnya jika harus wisuda terlebih dahulu dari pada Dines.
“Makan dulu Nes.”
Dines melambaikan tangannya kepada Bima dan beberapa temannya yang sedang antri untuk asistensi. Entah kenapa hari ini terasa berat untuk Dines. Mana bisa dia menelan makanan jika mengingat perkataan dosen pembimbingnya tadi.
‘Kamu itu bakal jadi arsitek hebat. Kalau kamu tahu apa yang salah dari laporan kamu ini.’
Dines sudah mengobrak-abrik laporannya. Mencari kesalahan kecil yang dia buat. Tapi, sampai jam empat subuh pun mata Dines seolah dibutakan. Dia tidak menemukan kesalahan yang disebutkan dosennya itu. Dines mengumpat sepanjang jalan. Tidak peduli jika beberapa orang mendengar umpatannya. Dines sudah menerapkan prinsip bodo amat. Bodo amatlah jika di pertemuan berikutnya dia akan gagal ACC. Toh tidak ada yang mengejarnya untuk cepat lulus. Ayahnya yang bekerja di tengah laut terkadang tak tahu dia sudah semester berapa, ibu sambungnya yang walaupun sangat baik hati, terkadang sibuk juga dengan dunianya sendiri.
Hari masih siang dan dia tidak ada jadwal kuliah lagi selain mengerjakan skripsinya. Jadi, untuk menenangkan pikiran, ia pilih pulang. Dines men-tap kartu ke mesin lalu masuk. Seketika dia ragu untuk pulang. Akhirnya dengan pikiran kosong, dia ke peron sebelah untuk segera menaiki kereta tujuan Bogor.
“Mau kemana ?”
Dines terperanjat kaget, suara di belakangnya sangat jelas dan sedikit mengintimidasi. Ada Jonnah yang siang ini memakai kemeja putih dan celana hitam. Seperti sedang menyelesaikan sesuatu yang penting.
“Mau kemana ?” tanya Jonnah sekali lagi.
Gadis di depannya ini sedang melamun, entah apa yang dipikirkan.
“Dines, hey, yah dia melamun.”
“Oh sorry. Enggak, cuma heran liat pakaian lo.”
Jonnah melihat sekilas baju yang dia pakai. Tidak ada yang salah. Tapi Jonnah merahasiakan alasannya memakai setelan seperti ini. Dia takut menyakiti hati Dines. Bahkan Jonnah memperingatkan Bima untuk tidak mengumbar hasil asistensi laporannya di depan Dines.
“Kamu mau kemana ?”
“Bogor.”
“Ada urusan ?”
Dines menggeleng, dia cepat berpindah ke kursi yang kosong diikuti Jonnah yang berdiri di hadapannya.
“Mau ditemani ?”
Dines sempat ragu untuk mengangguk, karena dia membutuhkan waktu sendiri. Otaknya terlalu penat untuk bisa menanggapi pembicaraan dengan orang lain.