Jonnah merenggangkan punggungnya setelah sempat ketiduran di bangsal pasien tadi. Dia sendiri tidak ingat bisa sampai tertidur pulas seperti itu. Terima kasih banyak pada suster yang mencarinya untuk melihat pasien. Jonnah melirik jam tangannya sambil menguap, sebelas. Rasanya Jonnah ingin berteriak. Dia butuh pelampiasan setelah tidak tidur dua puluh jam. Rekor terlamanya.
Jonnah hampir masuk kembali ke rumah sakit kalau saja namanya tidak dipanggil dengan lantang. Jonnah menunduk malu, beberapa orang yang masih tertinggal di pelataran rumah sakit langsung menghunusnya dengan tatapan ingin tahu.
“Jonnah! Astaga, Jonnah! Budek beneran deh lo.”
Jonnah cepat-cepat ke sumber suara dan menyeretnya ke sudut rumah sakit yang sepi. Setelah duduk, Jonnah segera menggeledah barang bawaan Dines. Dines yang tadi berteriak memanggilnya hanya diam sambil menyeruput kopinya yang masih tersisa setengah.
“Cuma ini ?”
“Astaga, lo bawel banget deh. Makan aja. Syukur masih ada tukang nasi goreng yang buka.”
Jonnah mengunyah potongan telur dadar dan nasi dengan tenang. Ini makanan pertamanya setelah dua puluh delapan jam. Dan terima kasih pada gadis satu ini yang rela membelikan makan malam walau dia sendiri baru selesai pulang dari magang. Dengan pengertian, Jonnah memberikan sesendok nasi goreng ke mulut Dines yang disambut senang. Dines mengunyah sama tenangnya dan kembali membuka mulut ketika mulutnya telah kosong. Jonnah terus bergantian menyuapkan nasi goreng tersebut ke mulutnya dan ke Dines.
“Lo yang lapar, lo aja yang makan.” tolak Dines.
“Kebanyakan porsinya. Udah bareng aja.”
Satu sendok bersama ? Sudah biasa. Ini sebenarnya yang dibenci Rain. Kedekatan yang seperti ini sama dengan kedekatan yang Rain rasakan terhadap geng rusuh. Jadi, sebenarnya Rain cemburu terhadap Dines.
Dines menggeleng saat Jonnah menyodorkan suapan terakhir. Perutnya sudah sangat kenyang. Salahkan kopi yang sudah banyak dia minum sejak pagi hari. Dan malam hari ini ia baru merasakan efeknya. Dines terus memperhatikan Jonnah yang membereskan bekas makan mereka. UGD hari ini terlihat sangat sepi. Sehingga Jonnah bisa lebih menikmati makan malamnya yang terlambat.
“Aku pesankan taksi ?”
Dines menggeleng, dia menunjukkan kunci mobil yang seharian ini sudah menemaninya. Lebih tepatnya sejak dia menyelesaikan studi. Jonnah tidak lagi mengeluarkan suara. Kini matanya kembali terpejam, tangannya terlipat di depan dada.
“Sepuluh menit, bangunin.”
Dines membiarkan Jonnah istirahat. Dia juga mencoba untuk tidak melihat ke arah sebelah kanan. Menghindari Jonnah yang sedang dalam mode tenang. Sejujurnya, Dines sudah muak dengan hubungan mereka seperti ini. Setahun terakhir ini mereka kembali akur. Dan Dines mencoba untuk tidak serakah. Bersyukur ada jalan untuk mereka kembali bisa sedekat ini. Tapi rasanya tidak benar. Kedekatan mereka tidak seperti yang lalu. Seperti ada keterpaksaan dalam hubungan mereka ini.
Puncaknya saat Dines mengabarkan jika dia diterima sebagai karyawan tetap di biro arsitek tempatnya magang. Tentu saja orang yang pertama tahu adalah Jonnah. Reaksi Jonnah? Tentu saja mengucapkan selamat –melalui pesan singkat-lalu mengajaknya makan siang bersama di tengah kesibukannya koas. Hanya itu. Bukan seperti yang dulu, Jonnah akan mengucapkan selamat lalu diiringi nasehat-nasehat yang membuat Dines mendiamkan Jonnah selama dua hari, lalu Jonnah mengajaknya makan bersama atau memasakkan sesuatu yang Dines suka. Itu ungkapan selamat yang benar dari Jonnah. Bukan yang seperti ini.
Bima yang menjadi tempat menampung semua keluh kesahnya saja sampai mengomel karena Dines menghilangkan keberanian untuk menuntut jelas Jonnah tentang hubungan mereka. Bahkan sampai kepergian Bima ke Jepang saja, Bima masih mengomeli Dines dan menyerah saat Dines mengantarnya di Bandara. Iya, sahabatnya itu bertolak ke Jepang, menyusul Ganesha untuk melanjutkan pasca sarjana dan berjanji akan kembali dalam waktu dua tahun lagi.
“Pulanglah. Ini sudah tengah malam.” kata Jonnah sambil menggeliat lalu melirik tangannya.
Tenga malam sudah berlalu dan gadis disebelahnya ini masih setia duduk menemaninya. Otaknya memerintah kuat untuk tetap menjaga tangannya berada disamping kedua tubuhnya. Jangan sampai lari ke kepala Dines untuk mengusap kepala mantan kekasihnya itu. jangan sampai, dia tidak mau menimbulkan spekulasi baru di otak Dines yang lebih suka mencerna sesuatu dengan sederhana.
“Sebentar lagi. Kamu gak ada pasien ?”
Jonnah melirik sekilas pintu UGD yang sepi. Beruntung malam ini mereka bisa tenang.