“Masih SD, kan ?” tanya Dines tanpa melihat Jonnah.
Tangannya aktif mencari pakaian yang sekiranya cocok digunakan anak sekolah dasar. Mereka sedang mencari hadiah untuk Veera, si bungsu yang sebentar lagi berulang tahun. Tidak ada pesta apapun, karena di hari ulang tahun gadis itu, semua orang sangat sibuk secara tiba-tiba. Armar yang keluar kota sejak kemarin dan pulang setelah gadis itu berulang tahun. Amanda yang memang ada jadwal operasi hingga malam hari. Lalu Jonnah, si sulung itu juga sibuk dengan shift malamnya serta ujiannya. Tidak ada waktu bersantai karena dia harus segera lulus dan mengambil spesialis.
Dines menghentikan gerakan tangan ketika tidak mendapat jawaban dari Jonnah. Matanya mencari Jonnah yang sudah tidak berada di sampingnya.
“Duh, mana sih tuh lakik.” Omel Dines yang berjalan membelah rak-rak baju.
Ketika siluet Jonnah terlihat di antara tas wanita, Dines menghentikan langkah. Dia memperhatikan Jonnah yang sibuk memperhatikan tas sambil sesekali memegang tas satu ke lainnya. Tak lama Jonnah berbalik dan menemukan Dines yang memperhatikan. Merasa tertangkap basah telah memperhatikan lelaki itu tanpa izin, Dines mencoba mendekat.
Dines mengulum bibir sejenak lalu tangannya menunjuk sebuah tas maroon dengan design yang sederhana. Dines berbalik menghadap Jonnah lalu tersenyum.
“Bagus untuk Rain.”
Jonnnah menatap Dines tidak mengerti. Dia memiringkan kepalanya lalu menarik tangan Dines ke tempat pakaian anak-anak lagi. Dines yang ditarik begitu saja mendengus kesal.
“Lo bilang belum kasih kado pas Rain lulus. Kasih aja yang tadi. Itu Rain banget loh.” Kata Dines sambil terus mengikuti langkah Jonnah.
“Nanti aja.”
Dines mengangguk dan kembali ke etalase yang sempat ingin diperlihatkannya ke Jonnah. Tidak perlu memilih lama, Jonnah setuju dan langsung membayar. Setelah itu mereka mampir sebentar di toko elektronik terkenal. Dines kembali menunggu selama Jonnah melakukan transaksi. Sepertinya lelaki itu mengganti ponselnya.
Dan seperti biasa, Jonnah sudah mensurvei ponsel apa yang akan dibeli. Sekarang dia hanya menyebutkan tipe ponsel tersebut dan warna yang dia inginkan. Selalu seperti itu sejak dulu. Jonnah selalu tahu apa yang dia inginkan. Kembali lagi Dines menghela nafas. Dirinya tidak ada dalam daftar keinginan Jonnah. Kedekatan mereka belakangan ini tidak berarti apa-apa. Tidak masalah, batin Dines menguatkan diri sendiri.
“Udah ?” Tanya Dines saat Jonnah keluar dan menenteng bag berisi ponsel.
“Yuk. Makan dulu atau kamu ada yang mau dibeli ?”
Dines menggeleng pelan. Dia mengikuti langkah Jonnah yang membawanya ke restoran. Setelah mereka memesan ke pramusaji, Jonnah mulai mengutak-atik ponselnya. Dines terus memperhatikan apa yang Jonnah lakukan. Mulai dari memainkan ponselnya, tersenyum lalu mengetik sesuatu hingga lelaki itu kembali meletakkan ponsel saat pramusaji datang. Dines bahkan memperhatikan bagaimana Jonnah mengucapkan terima kasih kepada pramusaji. Semuanya tidak ada yang berubah dalam ingatan Dines. Jonnah masih lelaki lembut yang menyatakan cinta padanya dengan wajah berseri dan yakin.
“Ada yang salah sama muka aku ?”
Dines terkesiap saat Jonnah memergokinya. Dia hanya menunduk lalu mendongak dan menatap aneh Jonnah. Jonnah yang ditatap seperti itu semakin merasa ada yang salah pada tampilannya. Tapi, mengapa Dines baru bersikap seperti ini setelah mereka mengelilingi mall hamper dua jam.
“Lo manggil gue apa ?”
“Dines.” jawab Jonnah cepat masih tidak tahu arah pembicaraan Dines.
“Bukan. Bukan itu. Lo manggil gue ‘kamu’ ?”
Jonnah berha-ria mengerti apa yang Dines maksud. Dia tertawa kecil lalu memberi sepasang sendok dan garpu. Meletakkan minuman Dines di sebelah kanan karena Dines nyaman dengan posisi itu.
“Aku gak terbiasa dengan panggilan seperti itu. Balik aja ke dulu.”
Dines mengiyakan lalu menyantap makanannya. Hatinya kira Jonnah akan melangkah lebih lanjut. Sial, hati, lo gak bisa baper cuma karena ‘aku-kamu’, batin Dines mengerang.
Dia kesal hingga hampir menangis. Matanya merah dan dadanya mulai sesak. Terus berharap pada Jonnah tidak menyehatkan untuknya. Mau maju juga susah, Jonnah tidak memberi lampu hijau. Dines jadi serba salah. Dalam hidupnya dia tidak mau kalah karena cinta. Maka dengan bodohnya dia tetap diam entah sampai kapan.
“Kamu nangis. Dines. Hei.”
Dines tergagap. Dia menghapus air matanya dengan cepat lalu minum lemon tea dengan cepat. Lalu pura-pura berdesis.
“Pedas. Sorry, aku kepedasan.”
“Miso ramen gak pedas, Nes.”
“Aku ke toilet dulu.”
Jonnah memperhatikan Dines yang keluar dari resto menuju toilet. Jonnah masih bingung dengan air mata tiba-tiba Dines. Dengan rasa penasaran tinggi, Jonnah menyendok sedikit kuah ramen Dines dan tertegun. Gurih. Hanya itu. Tidak ada rasa pedas sama sekali. Mencoba tenang dengan tingkah Dines, Jonnah kembali melahap makanannya.
***
“Okay ?”
Dines mengangguk dan tersenyum lebar saat mereka sudah di mobil. Jonnah masih memperhatikan Dines yang menjadi pendiam setelah mereka selesai makan. Jonnah merasa ada yang salah tapi dia tidak tahu apa. Otaknya sibuk berpikir apa yang menjadi masalah. Apa dirinya atau apa ? Jonnah kesal sendiri.
“Serius ?”