“Kita akan tetap baik-baik saja.”
“Tolong tetap seperti ini.”
Dines melempar mouse naas itu ke meja belajarnya. Mengapa otaknya harus memutar kejadian di mobil tadi ? Lalu apa-apan otaknya ini yang masih mengingat perkataan Jonnah yang menyayat hati ? Sialnya lagi, Dines tidak pernah berhasil mencoba menghilangkan miniatur Jonnah di otaknya.
“Lo memang ngeselin.”
Tangannya dengan jahat melarikan kursor ke folder kenangan mereka dulu. Mereka berdua, Jonnah dan Dines jarang berfoto bersama. Jika pun bersama pasti ada jarak. Jangan pikir mereka pasangan romantis. Kalau Jo dan Ganesha bilang, mereka itu teman. Iya, karena memang mereka berlaku seperti teman. Didukung karena mereka masih sekolah. Dines dan Jonnah sadar batasan diri.
Dines berhenti di salah satu foto saat geng mereka liburan ke Anyer. Candid. Di foto oleh Ganesha yang hari itu membawa kamera. Dines yang memakai tanktop dan celana pendek, berjongkok dengan tumpukan pasir di hadapannya. Sedangkan Jonnah dengan iseng menendang tumpukan pasir tersebut yang disebut Dines sebagai istana. Tidak ada senyum di foto itu, yang ada wajah cemberut Dines dan wajah datar Jonnah. Entah mengapa mereka bahagia.
Capek bernostalgia, Dines memutuskan untuk memainkan ponselnya. Berhubung besok masih hari Minggu, dia bisa sedikit bersantai. Tidak perlu terburu untuk tidur atau mengerjakan sesuatu. Tak lama berselancara di dunia maya, Dines akhirnya tertidur. Saking lelahnya menghadapi Jonnah tadi siang.
***
Dines tertawa bersama rekan kantor bertepatan dengan OB yang menegur dan memberikan bingkisan. Tiga kota bekal yang berisi lauk dan nasi merah. Dines sempat tercengang, siapa pula yang memberinya hadiah. Tak lama ponselnya berbunyi. ‘Jonnah Calling’.
“Kenapa Jonnah?”
“Tadi Tante Amanda masak banyak. Ada acara di sekolah Veera. Jadi, sekalian aja aku suruh Bo anterin ke kamu.”
Dines menatap tas bekal itu dengan senyum kecil. Ternyata dia bisa merasakan lagi perhatian Jonnah. Indah? Jangan cepat berharap. Jonnah memang anak yang baik. Dan percayalah, Jo dan temannya yang lain pasti mendapatkan bekal seperti ini juga.
“Thanks, tahu aja aku belum beli makan siang.”
“Yaudah, aku kerja lagi. Selamat makan.”
“Eh tunggu.”
Dines menggigit bibir bawahnya sambil memainkan apple pencil. Ragu menghampiri, tapi kebulatan tekad yang terjadi malam tadi terbang entah kemana.
“Pulang jam?”
“Hari ini habis Magrib sepertinya.”
Dines mengepal tangan ke dada lalu berdoa dalam hati. “Aku jemput?” tawarnya.
Lama Jonnah baru bersuara. Dan sekalinya bersuara, Dines langsung kecewa.
“Hari ini aku bawa mobil. Sorry.”