“Kapan Jonnah ?”
Jonnah sedang tidak fokus untuk saat ini. Buku bertebaran di meja belajar juga sebagian di ranjang. Beberapa hari ke depan dia akan melaksanakan ujian kompetensi profesi yang menentukan apa dia berhak menjadi seorang dokter atau tidak. Ilmu selama koas akan di uji di saat itu. Jonnah tidak meragukan kemampuannya untuk menghadapi ujian, baik tulis maupun praktek. Masalahnya adalah hatinya yang masih bimbang. Walau saat melihat pasien, rasa kemanusiaan dan ingin menolong sangat menggebu-gebu.
“Jonnah!” seru suara dari seberang sana.
Jonnah kembali memfokuskan dirinya kedepan laptop yang sedang menampilkan wajah cemberut Rain. Adiknya itu sedang tidak ada kegiatan di luar dan dia sedang menyelesaikan beberapa maket yang menjadi tugas kuliahnya.
“Tidak janji secepatnya ya Rain.”
“Ayolah. Kamu sudah janji Jonnah. Hadiah ulang tahunku.”
Jonnah menggigit bibir bagian dalam sebelum mengangkat telepon dari Jo. Rain masih setia membiarkan kakaknya sibuk dengan urusannya. Cukup sekitar lima menit, Jonnah sudah kembali ke depan laptop.
“Jadi?”
“Kamu saja yang pulang ya Rain? Kita rayakan di sini, gimana ?” bujuk Jonnah hampir frustasi.
Jika bukan karena ujiannya, Jonnah juga tidak akan membujuk Rain seperti ini. Masalahnya ya itu tadi, waktunya yang sangat tidak pas. Tidak akan ada lagi pengorbanan kali ini. Jonnah sudah memutuskan untuk seperti itu. Masa depannya kali ini harus berjalan dengan benar. Jonnah harus menyelesaikan satu persatu jika ingin berlanjut ke tujuan selanjutnya.
“Aku belum mau pulang.”
“Sudah hampir empat tahun Rain. Harusnya kamu sudah rindu disini.”
Jonnah menanti reaksi Rain dengan berpura-pura sibuk dengan buku. Tapi, ekor matanya memperhatikan adiknya yang mulai tampak gelisah.
“Jonnah!”
“Iya iya. Nanti ya Rain. Doakan aku selesai ujian dengan baik. Jadi bisa cepat nyusul kamu.”
“Janji ?”
“Janji.”
Setelah Rain puas dengan jawaban Jonnah sambungan internasional itu pun terputus bersamaan dengan Jo membuka pintu. Sahabatnya itu malah langsung memeriksa buku-buku yang bertebaran di ranjang. Jonnah membiarkan Jo melakukan apapun asal tidak mengganggu konsentrasinya untuk menghafal yang sempat tertunda karena panggilan Rain.
Ada sekitar satu jam mereka bertahan tanpa suara hingga ponsel Jo berdering dengan kencang. Jonnah hampir melempar Jo dengan penggaris karena melewatkan panggilan itu sebanyak dua kali. Niatnya urung saat pintu kamarnya kembali terbuka. Kali ini yang muncul anak SD kelas dua dengan seorang gadis yang mengikuti di belakangnya.
“Ada Kakak Dines.” Lapor si kecil Veera dengan sebuah bungkusan roti di tangan kiri.
Dines masuk ke kamar Jonnah. Sudah berapa lama dirinya tidak menginjak kamar ini ? Veera meletakkan bungkusan roti di meja belajar Jonnah lalu mengecup pipi kanan kakaknya itu. Setelah itu dia keluar kamar dengan riang. Tinggal Dines yang masih berdiri di dekat pintu memperhatikan dua lelaki dewasa yang juga memperhatikannya.
“Lo gak capek berdiri terus ?” kata Jo memecah keheningan.
“Makan yuk !” ajak Dines lalu duduk di pinggir ranjang yang tak tertutup buku.
Tak ada jawaban sama sekali. Kedua lelaki di kamar ini masih sibuk dengan buku dan video yang tak dimengerti Dines. Jonnah yang sadar Dines menunggu jawaban mereka menutup laptopnya. Dia memutar kursi langsung berhadapan dengan Dines. Matanya mengamati Dines yang akhir pekan ini tampak manis dengan rambut yang diikat tinggi memamerkan leher jenjangnya. Didukung dengan kaos oversize andalan Dines.
“Dimana ?” tanya Jonnah.
“Aku lihat Bo masak banyak di bawah. Aku juga bawa oleh-oleh dari Ayah.”
Jonnah segera bangkit yang disusul Dines. Sedangkan Jo masih berkutat dengan buku dan mengatakan akan menyusul setelah sepuluh menit kemudian. Jonnah membalikkan badannya di ujung anak tangga saat mendengar Dines tertawa kecil. Kembali ke lantai satu, Jonnah pun ikut tertawa karena sebagian wajah Veera sudah berlumuran cat. Sepertinya ada tugas seni dari sekolah. Ah, Jonnah harus membantu si kecil sepertinya.