Jo kesal sendiri melihat Jonnah yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Apalagi kalau bukan menghubungi Rain. Sejak pesta usai habis Isya tadi, Jonnah memang menghubungi Rain, tapi tidak diangkat sama sekali. Entah karena sibuk atau apa. Pesannya juga tidak ada yang dibalas. Jo hampir melempar ponsel itu jika tidak ingat ponsel itu keluaran terbaru yang pasti mahal. Sayang duitnya.
Bima tidak lagi mengurusi hal itu, begitu melihat Jonnah dilanda resah, Bima menjauh. Dia menghilangkan rasa tertariknya. Karena walau satu negara, Bima hanya sekali bertemu dengan Rain. Itupun karena dia memohon sampai mengemis hanya untuk bisa bertemu gadis itu. Entah mengapa adik kecil mereka bisa berubah sedrastis itu.
“Jonnah.”
Jonnah melihat ke belakang, arah datangnya suara. Dines. Jonnah menanti Dines hingga gadis itu berdiri di sampingnya. Mereka berdua berdiri bersisian di balkon lantai dua menghadap taman tempat keluarga masih berkumpul dengan bara yang masih menyala memanggang jagung. Tak ada yang bersuara sampai Dines menyerahkan ponselnya ke Jonnah.
Jonnah masih tidak mengambil ponsel tersebut. Untuk apa ? Dines kesal, ia membuka kunci layar ponselnya dan melakukan panggilan internasional. Jonnah terkejut melihat siapa yang ditelpon Dines. Rain. Tak lama panggilan tersebut dijawab. Dines segera meletakkan ponselnya ke telinga Jonnah lalu meninggalkan lelaki itu.
“Halo.” Panggil Rain pelan.
“Kalau tidak bicara aku matikan.”
“Tunggu !” seru Jonnah tanpa sadar.
Hening.
“Jonnah?”
“Iya.”
“Kok kamu pakai HP Kak Dines?”
Hati Jonnah tiba-tiba kesal mendengar nada santai Rain. Disana juga terdengar pintu tertutup, tampaknya adiknya ini baru pulang.
“Ada yang blokir nomor aku sepertinya.” Sindir Jonnah.
Rain mendengus kasar. “Kapan ke Jepang ?”
“Apa kalau aku kesana, nomorku tidak akan diblokir lagi ?”
“Of course.”
Adiknya ini memang mampu membuat emosinya meluap seketika. Dengan centilnya kini Rain mengucapkan selamat berlanjut dengan cerita kesehariannya. Ah, sepertinya dia memang harus segera membeli tiket ke Jepang. Walau ulang tahun Rain sudah lewat, tapi satu dua hari bersama adiknya tidak masalah. Sambil mendengarkan cerita Rain, tangan kanan Jonnah aktif berselancar mencari tiket untuk ke Jepang.
Dan, semua kegiatan Jonnah, tidak ada satupun yang luput dari tatapan Bima dan Dines. Kedua orang itu ada di ujung tangga sejak sepuluh menit lalu. Mata Dines berkaca-kaca. Dirinya memang bukan nomor satu lelaki itu. Sudahlah, memang kisahnya hanya sampai lima tahun lalu.
“Dia sesayang itu sama Rain.” Ujar Dines sambil turun.
Bima mengikutinya di belakang. Tangan besarnya mengelus lembut kepala Dines lalu merangkul bahu gadis itu.
“Gak ada yang gak sayang sama Rain. Semua sayang. Porsinya aja yang beda-beda.”
“Gue nyerah Bim.”
Mereka berdua sudah berada di anak tangga terakhir. Bima menelengkan kepalanya ke kanan. “Yakin?”
“Jonnah udah kasih batasan kemarin. Aku gak mungkin melanggar, sekalipun restu semua orang sudah aku dapat.”
Tidak ada senyum dari Bima, malah lelaki itu menarik Dines hingga ke teras dan mendudukkannya di kursi panjang yang biasanya menjadi tempat mereka bercengkrama jika di teras. Dines menatap jari tangan yang saling bertaut. Setelah itu helaan nafas terdengar lelah sekali.
“Lo gak frontal sih ngomongnya. Coba untuk to the point. Gue yang jamin, Jonnah gak akan bergaya kayak gini. Kok gue kesel jadinya.” Kata Bima berapi-api.
“Ya temen loh sih. Gue gak bisa apa-apa kan ?”
Tidak ada tanggapan apapun dari Bima. Dia malah mengacak rambut Dines lalu kembali masuk ke rumah meninggalkan Dines yang ternyata disusul Jonnah. Jonnah mengangsurkan ponsel ke Dines lalu memiringkan kepalanya menghadap Dines.
“Kalian akur ?” tanya Jonnah geli.
“Adikku hanya memanfaatkanku untuk tugas kuliahnya.”
Terkekeh pelan, Jonnah menyandarkan punggungnya ke belakang. Ada raut geli membayangkan masa lalu setiap Dines bertemu dengan Rain. Udara di sekeliling menjadi hitam. Sampai sekarang juga Jonnah tidak akan tahu kalau Bima tidak memberitahunya beberapa waktu lalu. Cemburu. Rain cemburu, begitu juga Dines. Entah apa yang mereka berdua cemburui. Dasar wanita.
“Harusnya dari dulu kalian akrab.”
“Jangan aneh-aneh deh. Adikmu itu muga masih ketus. Masih galak, habis urusannya selesai, yaudah langsung dimatikan. Kayak call center aja.”
Jonnah tertawa terbahak. Lucu sekali memang. Denis dan Rain. Semoga suatu saat nanti, mereka bisa duduk berdua tanpa harus bersitegang urat.
***
Bima tertawa sampai perutnya sakit mendengar Jo dan Caca berdebat di telepon. Jo yang sedang bersisir mengaktifkan speaker ponselnya dan terdengarlah omelan khas Caca. Gadis itu ternyata mempermasalahkan pesan Jo yang menuduhnya tidak belajar lantaran nilai akademis Caca turun.
“Lagian itu pelanggaran privasi Abang.”
Bima melirik Jo yang mencibir Caca tanpa suara. Sedangkan Jonnah yang berbaring di sebelah ponsel Jo sudah mulai kesal. Dia memiringkan tubuhnya menghadap ponsel.