“Aku masih rindu Jonnah.”
Jonnah tertawa bahagia melihat raut wajah Rain. Tidak hanya melihat, tapi Jonnah juga bisa memeluk Rain dengan puas. Setahun lebih dia tidak bisa memeluk adiknya ini. Kini, waktu tersisa satu hari lagi, Jonnah ingin memuaskan seluruh inderanya untuk Rain.
Rencana mereka hari ini Jonnah mengantar Rain ke kampus sebentar untuk mengumpulkan tugas, setelah itu mereka akan keliling Tokyo berburu makanan. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa bahagianya Jonnah hari ini. Bukan, sejak semalam tepatnya. Saat wajah Rain celingukan di depan pintu kedatangan internasional. Rain segera melompat ke pelukan Jonnah. Tidak malu pada sekitar.
“Sudah ?”
Rain mengangguk lalu menarik tangan Jonnah. Dia membawa Jonnah ke minimarket yang sering didatanginya saat pulang dari kampus. Rain terus berceloteh tentang ini itu, ditanggapi dengan sabar oleh Jonnah. Tak sedikitpun Jonnah memotong perkataan Rain. Karena ini pertama kalinya Jonnah melihat wajah ceria Rain yang tanpa beban. Harapan Jonnah hanya agar wajah cerah ini terus ada. Tidak ada lagi awan kelabu yang mengikuti Rain.
“Duduk dulu.”
Mereka duduk di salah satu kursi depan minimarket. Cukup untuk menambah energi setelah lumayan jauh berjalan. Jonnah tertawa melihat cara makan Rain. Lucu sekali adiknya ini.
“Besok aku sendirian lagi.” keluh Rain sambil menjilat es krimnya.
“Tahun depan studimu sudah bisa selesai ?”
“Ya enggak lah Jonnah. Dua tahun lagi.”
“Setelah itu ? Pulang ke Indonesia ?”
Rain menghela nafas. Rain membuka ponsel terbarunya. Baru dibeli Jonnah kemarin hadiah ulang tahun. Sama persis dengan milik Jonnah. Setelah mencari dia menyodorkan layar ponsel itu ke Jonnah.
“Utrecht ?”
“Aku mau coba beasiswa disana.”
“Rain.” tegur Jonnah tidak percaya dengan adiknya.
Ternyata Rain sudah menyiapkan rencana masa depan. Yang membuat miris, tidak perlu Jonnah, Rain tidak butuh pendapat Jonnah seperti saat gadis itu masih kecil dulu.
“Please Jonnah. Aku gak mau hanya lulus bachelor, aku mau coba yang master. Selagi aku masih rajin belajar.” Bujuk Rain pada Jonnah yang diam tak menanggapi sama sekali.
Ada kecewa di hatinya.
“Apalagi rencana masa depanmu Rain ?”
“Begini,” Rain memajukan tubuhnya semangat. Dia bahkan menyingkirkan botol minum dan bungkusan snack di meja. “,aku coba master di Utrecht, sambil aku coba di biro yang dekat. Setelah ilmuku cukup, aku mau buka biro sendiri.”
“Tidak ada Indonesia di dalam rencanamu ?”
Rain mengangguk pasti. “Maaf Jonnah. Aku memang tidak berniat kembali ke Indonesia. Mungkin sesekali aku akan berkunjung karena Mama ada disana. Tapi, tidak untuk menetap.”
“Ada Papa disana, Rain. Ada aku juga.”
Jonnah mempersilahkan siapapun untuk mengejeknya sebagai lelaki cengeng. Hanya karena adiknya ini, dia hampir menangis. Sesedih itu ternyata dibuang tanpa di sadari.
“Aku sudah bilang, aku akan berkunjung sesekali. Lagipula aku bukan WNI, Jonnah. Susah mengurus visa dan segala macam hal kalau aku kembali ke Indonesia. Terlalu merepotkan.”
“Baiklah. Lakukan apapun yang menurutmu terbaik, Rain.”
Jonnah meneguk habis minumnya lalu membereskan sisa makanan ke kantong plastik.
“Aku tidak khawatir meninggalkanmu disana Jonnah. Ada Kak Dines yang menjagamu. Kamu tidak akan kesepian.”
“Siapa bilang ?” Jonnah melihat sinar ketakutan di mata Rain karena bentakannya tadi. “Posisimu dan Dines berbeda, Rain.”
“Hidupmu akan bersama Dines, Jonnah. Dan aku dengan kehidupanku sendiri. Dines yang akan menemanimu. Bukan aku.”
Tidak ada jawaban lagi dari mereka yang berkata. Hanya keheningan hingga mereka berdua kembali ke apartemen Rain. Rain segera membersihkan diri. Ada tugas yang harus dikumpulkannya besok. Dan Jonnah menyiapkan makan malam untuk mereka. Jonnah meletakkan piring berisi nasi goreng. Lalu kembali ke penggorengan, mengangkat telur dan meletakkannya di atas piring untuk Rain. Nasi goreng spesial.
“Rain.”
“Iya. Lima menit.”
Jonnah duduk di kursi makan, membuka ponselnya yang langsung terdapat panggilan. Dines.
“Hai.”
“Sedang makan ?”