Dua Bulan Sebelum 2022
Langit mulai mendung. Januari masih menampakkan mendung yang menyelimuti seluruh kota. Suara gemuruh saling bergantian menyombongkan diri. Orang-orang bahkan takut untuk beraktivitas tanpa atap. Salah satunya Dineshcara. Gadis itu menatap ujung safety shoes yang kotor tanah liat. Tangannya penuh dengan kumpulan kertas design. Dines tersenyum saat semut dengan nakal naik ke sepatunya.
“Nes.”
Dines mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan orang yang sejak kemarin berjanji untuk menjemput di lokasi proyek. Berpura-pura kesal, Dines menghentakkan kaki lalu menghampiri pria itu. Dengan cepat dia naik ke boncengan sepeda motor setelah memakai helm. Mereka membelah jalanan Medan dengan cepat. Takut hujan mendahului sebelum tiba di tujuan.
Dines menatap bangunan yang dilewati dengan sendu. Dulu, pernah sekali dia melewati jalan ini bersama orang yang berbeda. Bersama orang yang kiranya akan menjadi teman hidupnya. Ternyata, Tuhan tidak mengikat benang merah di antara mereka menjadi satu. Mereka berbeda pilihan di simpang perjalanan. Dan Dines harus puas ketika dia berbalik, orang tersebut telah pergi jauh. Tak terkejar. Tuhan memisahkan mereka secara paksa.
“Penerbangan malam ?”
Dines melepas helm lalu mengangguk. Tangannya merapikan cardigan yang kusut karena terkena kencangnya angin. Lawan bicaranya masih menunggu Dines membuka mulut. Menunggunya dengan sabar dengan mata yang tak lepas dari Dines.
“Nes, lo sehat ?”
Dines menoyor dahi pria yang masih mengenakan helm lalu mengetuknya.
“Menurut lo?”
“Ya sehat.”
Dines tidak memperdulikan perkataan pria itu lagi. Dia melambai lalu masuk ke lobi kantor yang ada di tanah Medan ini. Waktu memburunya untuk segera bersiap kembali pulang ke tanah padat penduduk, tempatnya mencari nafkah. Dines menyelesaikan laporannya lalu menarik koper saat sopir yang ditugaskan untuk mengantarnya sudah ready. Dines mempercepat langkahnya, semakin cepat hingga sedikit berlari kecil ketika tiba di counter check in.
Gate paling ujung, gate sebelas membuat Denis harus berlari kecil. Berlari pun kenangan juga ikut berlarian di otaknya. Sampai di Gate, Dines duduk dengan nafas terengah. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum para petugas menyuruh penumpang naik ke pesawat. Denis, yang hari ini menggulung rambutnya asal, membuka tas, mengambil botol perfume dan menyemprotnya ke beberapa titik. Maklum, dia habis dari lokasi proyek dan langsung menuju bandara. Tidak ada waktu untuk mandi.
Saat petugas menyuruh mereka untuk mengantri, Dines sengaja berdiri paling akhir. Dia malas berdesakan. Toh kursinya tidak hilang. Ini bukan angkot. Maka, saat gilirannya, Dines menyapa pramugari lalu duduk dengan tenang. Tangannya mencari settingan untuk mengaktifkan mode pesawat. Sejenak dia terpaku setelah berhasil. Layar ponsel keluaran terbaru itu masih menyala menampilkan foto sepasang anak manusia yang saling tersenyum lebar menampakkan gigi. Berlatar belakang pemandangan kawah putih. Dines hampir menangis jika pramugari tidak menegurnya untuk menyimpan ponsel.
Hatinya kembali bergemuruh. Rindu itu masih ada. Masih terasa. Cerita mereka belum usai, tapi harus dipaksa usai. Dines menatap jendela, pesawat baru saja take off.
‘Ada yang ngajak aku nikah, Jonnah. Tapi, aku belum sembuh. Tolong aku, pergi dari hidupku.’
Dines melihat ke kiri lalu tersenyum saat seorang anak ternyata memperhatikannya. Ternyata anak itu aktif tersenyum padanya, terutama saat tanda sabuk pengaman dimatikan. Pikiran Dines kembali ke seorang pria yang pasti sudah menunggunya di terminal kedatangan.
‘Aku tidak mau menyakitinya, Jonnah. Sungguh. Tolong jangan lagi datang ke mimpiku.’
***
“Capek?”
Dines mengangguk lalu menyambut uluran tangan besar itu. Iya, besar atau tangannya terlalu kecil hingga tak terlihat saat pria itu menggenggamnya. Dines menunggu hingga pria yang menjemputnya duduk dibalik kemudi setelah selesai memasukkan koper ke bagasi. Setelah itu dia menurunkan sandaran kursi, menyamankan tubuhnya dengan memiringkan menghadapi pria yang malam ini yang masih mengenakan kemeja kerja. Terlihat dari jas putih kebanggannya terletak begitu saja di kursi belakang.
“Capek?” tanya Dines lalu melarikan tangannya ke pundak pria itu.