Rain berteriak kesal saat Bima dengan kurang ajarnya menarik rambut gadis itu. Padahal Rain sudah dengan tenang sarapan dengan Veera yang sibuk dengan laptop di meja makan.
“Apa sih. Masuk rumah orang itu salam.” Ketus Rain.
Hari ini masih setengah enam kurang, dan sudah ada dua orang tamu yang hadir di rumahnya. Bima dan Jo. Ini sering terjadi bila Jo masuk shift pagi dan Bima selalu mengekor. Berdalih ingin sarapan bersama. Walau kesal, Rain memberi kedua tamunya ini piring. Biarlah hari ini dia berbaik hati. Terutama Bima, yang tumben sekali pagi ini bertingkah dengan ramah.
“Gue roti aja.”
“Banyak minta deh.”
Jo sengaja membuat Rain marah. Iya, setelah sekian tahun gadis itu diam, ini saatnya. Damai. Rain kembali makan dengan tenang. Tidak terusik dengan keberisikan tiga orang di meja ini. Beruntung Armar turun dengan setelan kerja lalu ikut menyumbang suara. Rain mau marah, tapi berhasil dia tahan. Wajah Armar membuat amarahnya lenyap. Bima dan Jo bisa memperhatikan itu. Mana bisa lagi Rain berteriak pada mereka di depan Armar. Rain kini sudah jinak. Sudah kembali seperti Rain yang lembut saat masih kecil.
“Pergi dengan mereka Rain?” tanya Armar, ada harap di dalam suaranya.
“Sama Om aja.” kata Jo secepat kilat lalu menarik Bima.
Lihat saja, nanti Rain akan membalas tingkah atasannya itu. Biar sekalian melampiaskan kesalnya karena didiamkan Bima beberapa minggu.
***
Dines hampir menjatuhkan mangkuk bubur saat melihat Bima dan Rain datang dengan rusuh. Iya, Rain yang menggigit telapak tangan Bima karena lelaki itu menutup mulutnya saat berbicara. Sudah damai ternyata. Syukurlah. Entah, mungkin Bima belajar berdamai atau Rain yang membujuk. Karena Dines tahu, salah satu kelemahan Bima yaitu Rain. Hanya Rain yang kadang mampu mengontrol dirinya. Dia biarkan saja dua orang itu merusuh hingga ke pantry. Bukannya langsung ke meja kerja masing-masing.
Dia memperhatikan Bima yang mengambil dua gelas. Lalu mengisi salah satunya dengan kopi dan lainnya dengan teh. Kompak seperti biasa dengan Rain sebelum adegan pernyataan cinta Bima ke Rain beberapa minggu lalu. Cinta lagi, Cinta lagi. Dines menggerutu dalam hati, miris hidup mereka kadang tidak jauh dari cinta dan cinta.
“Udah baikan ?” ejek Dines pada Bima yang senantiasa duduk dihadapannya.
Mereka kompak melirik Rain yang sudah ke meja gadis itu membawa cangkir teh. Walau ada guratan kecewa di mata Bima, tapi senyum lelaki dewasa itu masih bisa terlihat. Cinta tidak harus memiliki kan ?
“Daripada Jonnah maki-maki gue karena buat adiknya sensi terus, ya mending baikan aja. Toh perempuan gak Rain aja.”
“Halaah, bibirmu sok tegar, hatimu apa kabar ?”
Ejekan Dines tak di tanggapi Bima. Karena jelas kebenarannya, dia hanya mengucapkan itu di bibir. Tapi hatinya masih merana melihat lelaki pilihan Rain. Sedangkan Dines sendiri juga terdiam, kala Bima menyebut nama yang sangat dia hindari. Belajar untuk biasa saja saat mendengar nama Jonnah pun dia tak pernah lulus. Selalu ada nyeri kala bayang wajah Jonnah terlintas. Saling bertubrukan antara wajah dengan senyum itu dengan wajah terakhir Jonnah yang Dines lihat. Dines tertawa mengejek dalam hati.
“Lo juga, lupain Jonnah. Udah kelamaan, delapan tahun masa gak bisa lupa.”
Dines mencebik kesal ke Bima. Dia paling malas digurui seperti ini. Karena kebanyakan dari mereka malah sangat sok tahu tentang hidupnya.
“Urus aja dulu si Rain di hati lo. Baru urusin gue.”
“Gue gampang, gue bisa ikhlas. Sekarang ini lo yang gimana. Gue kenal lo lebih dari setengah umur gue. Dan delapan tahun ini gue terus pantau lo. Mau tahu apa yang…”
“Stop. Jangan menghakimi gue.”
Bima memang tidak melanjutkan perkataannya. Dia berdiri hendak pergi dari pantry karena sepuluh menit lagi jam kantor akan dimulai. Tapi, teringat sesuatu, dia meletakkan tangannya di kepala Dines. Mengusap pelan rambut sahabatnya itu.
“Sudah cukup sedihnya. Yuk bangkit lagi.”
***
Dines menghempaskan tubuhnya di kasur. Setelah hari yang panjang, akhirnya dia bisa merasakan empuknya kasur di jam sebelas ini. Berjuang di tengah kepungan pengguna KRL. Rasanya setiap pulang kerja dia mau kembali ke Singapore. Tiga tahun hidup di Singapore membuatnya nyaman. Tapi semua itu lenyap saat melihat wajah ibunya. Walau bukan ibu kandung, tapi Zalina dengan sabar menghadapinya. Dan kepergiannya membuat Dines sadar, jika perhatian yang diberikan Zalina selama ini tulus. Wajah gembira Zalina saat dia mengabarkan akan kembali menetap di Indonesia membuatnya yakin akan keputusannya.
“Nes.”
“Iya Ma.”
Dines melirik pintu, Zalinda sudah mengintip dari pintu. “Makan ?”