Dines menatap bengis kedua orang yang sedang menuju mobilnya. Sudah tahu terlambat, tapi masih bisa berjalan dengan melenggang seperti itu. wajah keduanya juga tidak menunjukkan raut berdosa. Dines hampir melemparkan kalimat kasar saat kedua orang itu masuk ke mobil.
“Stop, jangan marah dulu. Tolong. Ini salah Ganesha.” kata Rain sambil mengacungkan jari telunjuk tepat di depan bibir Dines.
Rain menunjuk wajah Ganesha yang tidak mau ambil peduli dengan pembelaan diri Rain. Dia sudah cukup menderita hari ini. Baru pulang kemarin tapi sudah disuruh untuk melakukan aktivitas berat. Selamat tinggal weekend yang damai.
“Kalau udah siang gini mau sampai disana jam berapa ?” keluh Jo yang bertugas menyetir hari ini.
“Taman safari aja.” usul Bima yang duduk dibangku paling belakang bersama Caca.
Caca yang langsung mendengar disamping Bima mengernyit jijik. Usia rata-rata di mobil ini 30 tahun. Dan untuk apa wisata ke Taman Safari. Seperti anak TK. Tahu suaranya tak akan didengar, Caca menutup matanya. Dia ikut disini juga karena dipaksa Jo. Maklum, dia diungsikan oleh sang suami karena suaminya itu sedang ada dinas keluar kota selama seminggu. Jadilah dia sasaran empuk kakaknya untuk berbuat sesuka hati.
“Gimana ?” tanya Bima lagi.
“Nonton ajalah.” saran Ganesha yang punya niat terselubung, dia ingin tidur.
“Mana ada bioskop buka jam setengah enam pagi Ganesha.” keluh Dines sambil melemparkan tatapan tajam.
Jo yang kesal karena para penumpangnya tidak ada memberikan solusi yang benar. Maka dengan berani, Jo menjalankan mobil ke tujuan yang nanti mungkin bisa diputuskan saat ditengah jalan.
“Cus, langsung ke Puncak aja.” kata Dines sambil menunjukkan layar ponselnya. “Tante gue approve villa nya gue pake. Nih.”
Jo mengangguk, akhirnya keenam anak manusia itu pergi ke Puncak. Ke sebuah villa kecil dengan dua kamar yang sebenarnya rumah tinggal Tante dari Dines. Namun karena sang Tante ikut sang putra ke Sulawesi, maka villa itu dialihfungsikan.
Tidak ada yang berbicara, hanya sesekali terdapat keributan antara Caca dan Bima di kursi belakang. Dines dan Rain sudah tertidur. Sedangkan Ganesha terlibat perbincangan serius tentang pekerjaan dengan telepon internasional. Entah apa yang dibicarakan karena lelaki itu menggunakan bahasa Jepang.
Ditengah perjalanan, Dines terbangun. Mereka baru setengah jalan, mungkin satu jam lagi akan sampai. Bersyukur kebiasaan mereka selalu membawa set pakaian untuk ganti, jadi tidak masalah jika malam ini mereka akan menginap. Dines mengedarkan mata ke seluruh mobil. Rain sudah bangun dan sedang memainkan game di ponselnya, Bima yang melihat jalan dengan kepala Caca bersandar nyaman di bahu lelaki itu. Ganesha yang sudah membuka laptop dan sepertinya mengerjakan sesuatu. Dan Jo yang sesekali bersenandung mengikuti lagu dari radio.
Tidak ada interaksi satu sama lain yang terjadi. Tapi tidak mengurasi rasa keakraban mereka. Dines menghela nafas pelan. Itu menarik perhatian Rain. Gadis itu melirik Dines yang sudah memalingkan mata ke jalan.
“Sarapan sih Jo. Jalan terus.” protes Rain yang perutnya sudah nyeri sejak tadi.
Jo melirik spion lalu mengambil lajur kiri dan berhenti di warung terdekat yang ada. Dia juga lapar, tapi para penumpangnya tidak ada yang bersuara. Jadilah dia terus jalan.
Jo yang keluar pertama kali lalu diikuti yang lain. Jo memimpin pasukan rusuh itu ke meja panjang dan mulai memesan makanan. Tidak ada yang bersuara. Hanya bunyi kamera ponsel yang mengabadikan gaya Dines, Caca dan Rain dengan latar hamparan sawah yang hijau.
“Nginap kita ?” tanya Ganesha pada Jo yang memperhatikan ketiga perempuan itu berpose.
Bima mengedikan bahu. Dia tidak tahu rencana deal hari ini. Si perencana tidak memberi tahu mereka, malah sedang asik berfoto ria dengan dua orang lainnya.
“Guys, mau lanjut gak ?” teriak Jo sambil berkacak pinggang.