Unfinished Business - Dineshcara

KATHERINE PRATIWI
Chapter #23

Kehilangan

Dines masih termenung setelah selesai menangis. Dia tidak beranjak sedari ditinggal Jo. Hingga abangnya datang dan terlihat khawatir melihat kondisi adiknya. Dia mengambilkan minum dan duduk di sofa single dan terus memperhatikan Dines. Dines menghela nafas lalu beranjak ke kamar tanpa menyapa Angga, sang kakak. Dia tidak mau mendapat banyak pertanyaan dari Angga.

Dines langsung membersihkan diri. Dia butuh menyegarkan diri. Hati kecilnya marah dengan Jo yang mengukit masalah itu. Biarkan saja dia, jika dia tidak mau menerima tawaran Jo ya sudah, cari yang lain. Tidak perlu memborbardinya dengan terus menunggu jawaban. Setelah mandi, Dines kembali berbaring di ranjang, tidak peduli jika rambutnya membasahi bantal. Mengambil ponselnya yang tadi dia lempar asal, Dines masuk ke aplikasi pesan. Dia memaki Jo yang membuatnya menangis hingga mandi terlalu cepat di akhir pekan ini. Tak ada pesan balasan dari Jo, Dines kembali melempar ponsel malang itu.

Pikirannya kembali ke enam bulan lalu. Saat dia dengan sedikit memaksa Jo untuk menemaninya ke Kebun Raya Bogor. Jo memang pasrah menemani Dines. Entah apa yang di lihat gadis itu di Kebun Raya, yang pasti Jo menjadi photographer Dines selama perjalanan. Mulai dari di KRL hingga berfoto norak di depan Istana Bogor.

“Capek Nes. Istirahat dulu.”

Dines berdecak lalu membiarkan Jo duduk di kursi kayu. Dia malah pergi ke penjual air dan es krim. Setelah mendapat pesanannya, Dines memberikan air mineral kepada Jo yang malah mengambil es krim di tangan kirinya. Dines berdecak lagi. Dia menghempaskan dirinya disebelah Jo. Hidung mereka memang tergoda untuk memesan Pop Mie. Dines melirik Jo, dia tahu jika dia inisiatif untuk memesan, pasti Jo akan mencak-mencak. Lelaki itu sejak menjadi dokter, memang menjaga makanan. Dilarang memakan makanan instan. Seolah Rain juga wajib menerima kuliah gizi darinya.

“Jangan, kita makan diluar aja.”

Kan benar, Jo seakan bisa membaca isi kepalanya. Dines menggoyangkan kaki sambil sesekali melihat anak-anak yang berlarian. Sesekali Dines tertawa melihat mereka yang tertawa atau merajuk. Jo yang memperhatikan disebelah Dines, ikut tersenyum. Matanya beralih ke Dines, gadis yang tumbuh dewasa bersamanya. Kenal sejak SMP hingga sekarang. Walau sempat terpisah selama dua tahun, itu tidak menghilangkan kedekatan mereka. Nyatanya Dines tidak memutus komunikasi di antara mereka. Hanya pergi sejenak.

“Nes.”

Dines yang masih tersenyum menoleh ke Jo. Tawa gelinya masih ada hingga mengerutkan dahi.

“Lo pengen punya anak ?”

“Ha?” raut geli Dines hilang berganti ke raut bingung.

“Lo mau punya anak ?”

“Mungkin.” Jawab Dines tidak yakin.

Dia bingung ke arah mana pertanyaan Jo untuk dirinya.

“Baguslah.”

Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Hingga mereka keluar dari kebun raya bogor, dan tiba sore hari di Stadion, mengikuti orang-orang untuk berolahraga sore hari. Mereka tidak lari, hanya berjalan mengelilingi stadion.

Jo mengajaknya untuk duduk di pinggiran lalu menyodorkan air minum. Lama mereka memperhatikan orang berlalu lalang. Tidak ada yang membuka suara. Lucunya mereka tenang melihat itu.

“Nes.”

“Apa Jo? Lo mau tanya apa lagi ? Lo aneh deh hari ini.”

Jo tidak menoleh ke Dines yang sedang menatapnya. “Lupakan Jonnah, Nes.”

Dines baru mau berkata tapi diam ketika sadar apa yang dikatakan Jo. “Tolong lupakan Jonnah.”

“Apa sih Jo.”

Lihat selengkapnya