2007
Seberkas cahaya memancar ketika anak laki-laki itu dengan perlahan membuka matanya. Perlahan-lahan, cahaya putih itu memudar dan menunjukkan situasi yang sebenarnya.
Ingatan terakhirnya adalah air. Dia jatuh dari ketinggian, menembus laut dengan kencang dan terhempas tenggelam di dasar laut. Anak itu sudah sangat kelelahan dan tidak punya tenaga lagi untuk berjuang. Mungkin inilah takdir hidupnya, beristirahat di dasar laut sendirian. Dia tidak ingat bagaimana dia terpisah dengan ayah dan ibunya. Seingatnya, mereka duduk bersebelahan dan saling berpelukan sambil mengucapkan doa dengan perasaan mencekam di dalam pesawat.
Samar-samar dia melihat ke sekeliling. Tidak ada air. Yang ada hanyalah tirai berwarna hijau muda dan dinding ruangan bernuansa putih. Hidung terasa mengganjal karena terpasang nasal kanul* yang mengalirkan oksigen secara kontinu pada organ respirasi. Di sebelah kiri terdapat berbagai botol infus dan selang infus yang menjuntai dan ujungnya tertancap di punggung tangan untuk menyalurkan cairan dan obat-obatan. Dia tergolek lemah di ranjang yang keras dan sempit. Dia mencoba menggerakkan tangan dan kaki, tetapi mereka terkulai tak berdaya. Dia bersusah payah menggerakkan jemari yang kaku seperti membeku dan berhasil. Bola matanya memindai ke kiri dan kanan, menyampaikan informasi ke otak untuk dicerna. Kesimpulan yang didapat, dia berada di rumah sakit. Dia melirik ke sebelah kanan. Terdapat monitor yang memantau denyut jantung dan grafik-grafik lain yang dia tidak ketahui. Ada seorang wanita. Dia kaget. Siapa wanita itu? Yang pasti dia bukan suster kalau dilihat dari pakaiannya, yaitu gaun berwarna pink pucat bermotif bunga. Rambutnya yang panjang bergelombang diikat ke belakang membuatnya terlihat sangat klasik seperti gambaran seorang gadis di majalah perempuan jaman dahulu.
Tanpa sengaja, pandangan mata kedua orang itu bertemu. Wanita itu tersentak kaget.
“Damian?” tanya wanita itu seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Damian kaget. Wanita itu mengenalnya? Damian memperhatikan wajah wanita itu dengan seksama sambil berusaha mengingat-ingat. Mata yang bulat, dengan bola mata hitam seperti warna rambutnya, dibingkai dengan lipatan mata yang tegas dan bulu mata yang lentik, duduk di bawah alis yang tebal dan rapih. Wajahnya yang tirus, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi dan kurus, menyimpan kesenduan. Sekilas, sosok wanita itu terlihat familiar, namun dia tidak ingat pernah bertemu di mana.
Wanita itu bertanya dengan ragu, “Maaf, Anda… bisa lihat saya?”