“Hey, lepaskan! Siapa kamu, berani ikut campur?!”
“Saya Rendra, dokter yang menangani anak ini. Anda tahu pasien baru saja sadar dan kondisi fisiknya lemah, tapi Anda mau memukulnya. Apa Anda mau membunuh anak ini?”
Damian memperhatikan pria yang tiba-tiba menyelamatkannya. Pria itu berbadan tinggi dengan kulit sawo matang, rambutnya hitam dan ikal diikat ke belakang. Dia mengenakan jas putih yang menyatakan profesinya, yaitu dokter. Sorot matanya yang tajam dari bola matanya yang hitam legam seakan berteriak mengusir Om Ferry.
“Anak ini penyebab adik saya naik pesawat sialan itu!”
“Memang anak ini yang menyebabkan bencana itu? Apa hak Anda menghakimi anak ini?”
“Apa urusanmu? Ini keluarga saya, ngapain kamu ikut campur!”
“Anda sudah membahayakan nyawa pasien. Saya bisa panggilkan polisi sekarang juga kalau Anda tidak keluar.”
Ferry mendengus, “Damian, kamu bukanlah keluarga Najoan lagi. Jadi kamu jangan berharap apa-apa dari kami!” Pria itu membanting pintu dan meninggalkan ruangan.
Rina yang melihat semua percakapan tadi merasa sangat sedih, “Rendra, bagaimana ini? Siapa yang akan melindunginya kalau dia tidak punya keluarga?”
Rendra menganggukkan kepala kepada Rina sebagai isyarat bahwa dia akan membereskan masalah ini.
“Maaf, saya mendadak ikut campur urusan kamu.”
“Tidak apa-apa, dok. Saya malah berterima kasih karena dokter mengusir orang itu.”
“Saya Rendra, dokter yang menangani kamu. Bagaimana kondisimu sekarang?” tanya Rendra.
“Sudah lumayan, dok, tapi saya agak sedikit pusing karena habis menghadapi bapak tadi.”
Rendra menghela nafas. “Maaf, Damian, tapi sebaiknya kamu segera mengisi tenagamu. Karena di depan sudah banyak wartawan menunggu dan mereka sudah tidak sabar ingin mewawancaraimu.”
“War…wartawan??”
“Iya.”
“Kenapa??”
“Karena semua orang ingin tahu bagaimana bisa hanya kamu yang selamat dari kecelakaan pesawat itu.”