Suster Novi dengan pelan memasuki ruangan yang dipenuhi wartawan. Ruangan sangat gaduh, wartawan berkasak-kusuk berebutan ingin melontarkan daftar pertanyaan mereka pada Damian. Damian terlihat kerap kali memicingkan matanya karena silau akibat cahaya lampu blitz yang memancar dari segala penjuru.
“Bisa Anda jelaskan apa yang Anda alami ketika kecelakaan terjadi?”
“Apa Anda punya firasat sebelum Anda naik pesawat?”
“Apa yang Anda lakukan sehingga bisa selamat dari kecelakaan?”
“Bagaimana Anda bisa keluar dari pesawat?”
“Bagaimana perasaan Anda menjadi satu-satunya penumpang yang berhasil ditemukan?”
“Bagaimana perasaan Anda mengetahui bahwa orang tua Anda belum ditemukan?”
Damian dicecar pertanyaan oleh wartawan dan berusaha jawab semampunya, walaupun kebanyakan dia menjawab tidak tahu karena kejadian yang dia alami sangat cepat dan dia sempat kehilangan kesadarannya. Jawaban seadanya yang diberikan Damian membuat beberapa wartawan kesal, sehingga mereka mengorek sisi yang lain, yaitu kehidupan pribadi Damian.
“Apa betul Anda adalah anak adopsi?”
Perasaannya saat ini masih kacau karena kehilangan orang tua. Dia tertegun sebentar untuk menata emosinya yang bisa meledak kalau tidak dia kontrol karena kesedihan yang luar biasa. Bisa-bisanya para wartawan ini bertanya tanpa memikirkan perasaannya, sungguh merusak kesan pertamanya kepada wartawan.
“Iya.” Jawab Damian lirih.
“Bagaimana perasaan Anda kehilangan orang tua untuk kedua kalinya?”
Damian terdiam mendengar pertanyaan terakhir. Wartawan ini melontarkan pertanyaan tanpa memikirkan perasaan Damian yang sedang sangat sedih karena kehilangan orang tuanya. Dari sinilah Damian mulai merasa kesal dengan wartawan. Rendra yang membaca situasi segera menghentikan wartawan.
“Sekarang pasien waktunya istirahat, untuk sesi tanya jawab sampai di sini dulu. Bapak dan ibu dipersilakan meninggalkan ruangan.”
“Yah, baru sebentar doang, satu pertanyaan lagi ya, dok.”
“Iya, dok, kami sudah nunggu anak ini sadar dari kemarin lho, masa cuma dikasih waktu setengah jam?”
“Pertanyaan saya belum dijawab, dok. Jawab dulu pertanyaan saya, baru saya keluar.” Seru wartawan yang barusan melontarkan pertanyaan dengan nyolot.
Damian sudah tidak sanggup menahan emosinya. Para wartawan itu sudah keterlaluan. Dia sudah tidak sanggup berlaku jaim lagi. Persetan dengan wartawan, dia tidak peduli mereka mau menulis apa tentangnya. Yang terpenting saat ini, dia ingin mereka menghilang secepatnya dari pandangannya.
“Suster…” panggil Damian.
“Ya, ada yang bisa dibantu?”
“Bisa tolong lepas kantung urin saya, lalu lemparkan ke wartawan itu.”
“Eh, bocah sialan!” pekik wartawan itu.
Rendra, suster Novi, dan wartawan lain tertawa. Anak ini ternyata brutal juga.
“Maaf kepala saya mendadak pusing, saya mau istirahat dulu.”
“Para wartawan yang saya hormati, saya rasa cukup untuk sesi tanya jawab kali ini karena pasien masih harus beristirahat. Jadi saya minta bapak dan ibu meninggalkan ruangan ini.”
“Tapi dok…”
“Kalau ada pertanyaan lain bisa disimpan dulu ya, anak ini masih pemulihan jadi saya mohon pengertiannya. Suster, tolong antar para wartawan ini keluar.”
“Baik dok, bapak ibu mari ikut saya.” Para wartawan pergi meninggalkan ruangan dipandu oleh Suster Novi.
“Hah, mereka itu benar-benar…” ucap Damian kesal. Masih tersisa rasa kesal Damian ketika menghadapi Om Ferry, dan tiba-tiba ada wartawan yang menanyakan hal tentang statusnya sebagai anak adopsi.
“Wartawan memang sangat menganggu, dan mereka bisa muncul di mana saja untuk cari tahu tentang kamu. Karena kamu sekarang ini menjadi sorotan utama media.”
Damian merasa pusing. Dalam waktu singkat, hidupnya berubah 180 derajat. Dia kehilangan orang tuanya. Keluarganya menolak dirinya. Dan kini dia menjadi santapan media massa.
“Dok, aku benar-benar nggak kuat menghadapi semua ini. Aku ingin menyusul orang tuaku saja” Ucap Damian sambil berlinang air mata.
“Hey, jangan begitu, Damian. Kamu seharusnya bersyukur bisa selamat. Kita semua bersusah payah demi menyelamatkan kamu.”
“Tapi, apa gunanya kalau kehilangan segalanya…”
“Kamu masih punya kami, Damian. Kami akan selalu mendampingimu.” tutur Rina mencoba menenangkan Damian yang sedang galau.
Damian menoleh ke arah Rina, wanita yang pertama kali ditemui ketika sadar. Ternyata wanita itu sedari tadi di sini, tetapi kenapa dia tidak menyadarinya.
Rendra yang kaget segera menengok ke arah Rina.