1988
Awalnya keluarga Rina adalah keluarga bahagia. Walaupun penghasilan tidak seberapa, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari. Ayah Rina bekerja sebagai buruh pabrik, dan ibu Rina dengan kemampuan menjahit, mencari uang tambahan dengan menjahitkan baju. Namun, kehidupan yang tenang ini berubah ketika pabrik tempat ayah Rina pailit. Ayah Rina yang sudah mengabdikan diri bekerja di perusahaan tersebut selama hampir 20 tahun sangat terpukul. Di usianya yang sudah memasuki 40 tahun, sangat sulit mencari pekerjaan baru. Ibu Rina membantu mencarikan pekerjaan dari tetangga dan pelanggannya. Ada lowongan pekerjaan sebagai kuli bangunan, namun ayah Rina menolak. Dia terlanjur terbujuk rayuan temannya yang mengiming-imingi bisa melipatgandakan uang. Ibu Rina sudah mencoba menyadarkan suaminya bahwa itu adalah penipuan, namun suaminya tidak mau mendengar. Dia menyerahkan uang pesangon yang dia dapat ke temannya itu, berharap uang itu akan jadi berlipat ganda.
Pada awalnya, temannya setiap minggu memberi dia uang yang dia bilang adalah hasil dari uang yang dilipatgandakan. Uang yang dilipatgandakan akan dikembalikan setelah 6 bulan kemudian. Namun, belum 6 bulan, temannya sudah menghilang. Padahal uang hasil lipat ganda kira-kira hanya separuh dari uang yang diberikan di awal. Merasa putus asa dan malu karena ditipu, ayah Rina tidak berani bilang kepada istrinya yang sedari awal sudah memperingatinya. Dia malah bercerita pada temannya. Dia mencari jalan untuk paling tidak bisa mengembalikan jumlah uang pesangonnya. Seperti belum sadar akan kesalahannya, ayah Rina kembali terperosok ke lubang lain. Dia termakan anjuran temannya untuk mempertaruhkan sisa uang tersebut ke meja judi. Temannya memperkenalkan judi togel
Namun, lagi-lagi dia kehilangan uangnya di meja judi. Merasa putus asa dan masih menaruh harapannya di meja judi, ayah Rina memberanikan diri berhutang pada seorang rentenir. Tapi, keadaan tidak membaik, malah membuat ayah Rina semakin terperosok jauh. Dia kehilangan uang pesangon sekaligus terlilit hutang dari rentenir yang memberikan bunga berlipat. Bagaikan bola salju, utangnya semakin lama semakin membesar. Saking besarnya, kini dia tidak bisa menutupi kenyataan lagi pada istrinya.
*“Kowe ora ono gawean, tetapi jarang nang omah. Kowe itu pergi nang ndi, Mas?”
“Kon wong wedok ora paham gimana susahnya cari duit? Awakku iki berjuang supaya isa entuk uang akeh!” Dari mulutnya tercium bau alcohol, pasti dia habis menenggak minuman keras.
“Jarene nyari duit, ndi duite, Mas?”
“Dasar wong wedok ora tahu diri, bojoe wis mulih bukannya disambut malah njalok duit!” PAKK!!
Ibu sangat kaget karena dirinya tiba-tiba ditampar. “Aku salah apa toh, Mas? Mas pikir cuma Mas yang nggolek duit? Selama ini, Mas blass ndak pernah kasih aku duit. Kalo aku ndak kerja sendiri, mau makan dari mana?”
“Mana duitmu, kasihken aku!”
“Lho, jarene Mas ora muleh karena nggolek duit, kenapa sekarang malah minta duit?”
“Hei, kon arep ditampar maneh ya?”
“Uangku buat makan aja ora cukup, Mas. Aku lho masih ngutang sama tetangga sebelah. Mas kan dulu dapat pesangon akeh, sing dulu Mas bawa, jarene arep dilipatgandakan. Iku piye kabare?”
PAAKK!! Ayah kembali menampar ibu. Ibu memegangi pipinya sambil menangis.
“Aku wis bilang, uangmu kasiken aku. Atau kon tak tampar maneh.”
“Huhu… apa salahku, Mas? Duitku sithik tok, itu buat makan besok pagi.”
Ayah kembali mengayunkan tangannya.
“Stop, Mas, sek…” ujar ibu dengan bergetar. Ibu masuk ke kamarnya, mengambil uangnya yang hanya sedikit sambil menangis sesenggukkan.
“I…ini, Mas…” ujarnya sambil memberikan uangnya.
“Cuma segini??”
“I…iya, Mas, tadi aku wis bilang duitku sithik, Mas…”
“Haaah, duit segini bisa buat apa??” Seru Ayah sambil mengambil uang itu. Lalu dia mulai melihat sekeliling, mencari barang untuk dijual. Dia mengambil TV dan membawanya pergi.
“Lho, kok TVnya digowo?”
“Diam, kon! Berani mbantah lagi, tak pukul!”
Ibu hanya bisa terdiam sambil menangis. Dia seakan tidak percaya bahwa pria yang dicintainya berubah menjadi preman kasar yang mengambili harta bendanya. Ke mana perginya sosok suami yang dulu menyayanginya?
Rina yang ada di dalam kamar, tidak berani keluar. Dia hanya mengintip dari kamar melihat ibunya dipalak dan dianiaya oleh ayahnya. Setelah ayahnya pergi, Rina baru berani keluar menghampiri ibu.