Sebesar apapun cinta, nyatanya bisa luntur dan menghilang terhapus waktu, seperti warna terang diatas kertas yang memudar usang.
Seperti goresan pena diatas kertas yang hilang ketika dihapus, padahal meninggalkan bekas abadi yang tak kasat mata.
Alana duduk terdiam menikmati sang mentari yang kian meredup saat sang malam datang menyapa, cahaya menghilang saat gelap menghampiri.
 Pikirannya tengah berkelana jauh dengan banyak pertanyaan yang mengitari isi pikirannya, matanya berkedip sayu, bibirnya terkatup sunyi dengan wajah berhias kesenduan abadi.
Dadanya kembang kempis saat ia melepas emosi dalam hembusan nafas berat yang terganti ekspresi sedih, tak ada hal baik akhir-akhir ini, semuanya berjalan dengan cepat tanpa memberikan waktu untuknya beristirahat.
Masalah pekerjaan dan kuliah, kedua hal itu masih bisa ia handle. Tapi ... bagaimana dengan Mahendra?
Pertanyaan yang sama kembali muncul, kenapa pria itu berubah dan kenapa bersikap seolah-olah ia tak mengenalnya.
"Kamu pergi tak mengucapkan selamat tinggal, dan sekarang kembali tanpa mengatakan apapun padaku. Sebenarnya apa yang terjadi selama kamu pergi?" rangkaian kata penuh tanya itu kembali menghantui pikiran Alana.
 Lelah dengan pikirannya, Alana memutuskan untuk pulang dan menceritakan semua masalahnya ini pada Syakira.
...
 Dalam perjalanan pulang, Alana mampir ke toko buku untuk mencari buku baru yang akan ia gunakan untuk mata pelajaran hari esok.
Tapi siapa sangka Tuhan mengatur rencana lain untuknya, entah kesialan atau keberuntungan, seorang pria bertubuh tinggi menabraknya dan menumpahkan ice americano-nya pada Alana membuat pakaian gadis basah.
Tak meminta maaf ataupun mengatakan sepatah kata pun, pria itu melepas kemejanya dan memakaikannya pada Alana dengan tergesa lalu pergi meninggalkan gadis itu dalam keadaan bingung tanpa tahu harus bereaksi
Alana duduk di bangku, tubuh mungilnya terbungkus kemeja kebesaran itu.
Bohong kalau ia baik-baik saja, karena saat ini jiwanya meronta-ronta ingin mengumpat dan berucap kasar pada pria tadi.