Magnolia Heptapeta
Gana tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Matahari memang tidak memancarkan cahayanya sejak tadi, padahal sudah hampir jam dua belas siang. Mendung di langit malah semakin gelap, desau angin sejuk membawa rintik hujan dan bau petrikor kini kencang menari-nari memasuki kamarnya lewat jendela yang tidak sempurna tertutup di ujung kamar.
Kepalanya sejenak menimbang, tidakkah selama ini waktu itu cuma ilusi? Tentang jauh-dekat, sebentar-lama, dan susah-bahagia. Tidakkah perasaan-perasaan juga cuma buatan kita saja?
Gana menatap ke arah jarum jam yang sejak tadi berdenting. Matanya masih termangu ke berbagai benda-benda mati di kamarnya. Lalu perlahan berhenti pada sesuatu. Setangkai bunga yang tumbuh sendirian di dekat pintu gerbang rumahnya. Bunga warna putih, berempel indah. Sederhana yang memikat batinnya.
Apa namanya?
Gana mengangkat bahu. Mana peduli. Laki-laki itu terlihat berpaling, beranjak menuju pintu kamar mandi. Melenyapkan hening dengan riuh suara keran air yang dinyalakan.
***
Tutup jendelanya.
Sentuhan tangan halus meraih gagang jendela tepat di sebelahnya duduk. Perempuan itu memang tidak pernah berhenti merangsek masuk dalam dunia nyamannya. Dunia sendirinya yang sepi dan tak berpenghuni siapa-siapa.
“Nanti akan kututup sendiri.” Gana berkata sambil melirik sarkas.
Perempuan itu hanya tersenyum simpul. “Sudah kututup. Menunggu nantimu pasti lama. Keburu hujan duluan.”
Ga, katanya baca puisi saat hujan atau sedih bisa bikin kita nggak insecure lagi. Aku udah baca, kadang-kadang sedihnya hilang, kadang-kadang tetap saja. Berarti memang nggak pernah ada penawar buat segalanya selain kita sendiri yang berusaha buat sembuh kan ya?
Gana tak menjawab apa-apa. Perempuan itu selalu membuang waktunya bercerita banyak hal. Padahal di dunia ini yang dia butuhkan hanya satu. Sepi, dan sendiri. Dua definisi menikmati hidup yang damai melebihi apapun.