Derap langkah berbunyi di sepanjang trotoar. Seorang gadis tengah berlari menuju gerbang sekolah yang akan segera tertutup.
"Pak, tungguin gue!" teriak gadis itu dari jarak yang tidak begitu jauh, kira-kira lima meter.
Pak Satpam yang hendak menutup gerbang mengeluarkan setengah badannya mencari sumber suara.
Gadis itu mencoba mengatur napasnya sebelum melangkah masuk.
"Makasih, Pak!" ucapnya yang langsung berlari masuk.
Mampus lo, Di. Telat 'kan semua udah pada ngumpul! batinnya.
Baru beberapa melangkah, dia hampir terjatuh karena menginjak tali sepatunya.
"Ih ... nyusahin banget, nih, sepatu! Talinya pakai lepas lagi," gerutunya dan bergegas mengikat tali sepatu.
BRUK!!!
Tiba-tiba, dia tidak sengaja menyambar bahu seseorang yang sedang lewat saat hendak buru-buru berlari setelah mengikat tali sepatu.
"Duh, sakit banget, nih, bahu!" Dia meringis kesal sambil mengusap pelan dan melanjutkan langkahnya—melengos begitu saja.
"BERHENTI!!!"
Suara berat seseorang yang berdiri di belakangnya.
Hufff ... dia meniup poninya kesal dan berbalik melihat siapa yang sudah menyuruhnya berhenti.
"Aji gile, tuh, muka serem amat!" ucapnya pelan sambil mengelus dada.
Dirinya kaget ketika melihat wajah cowok yang tengah menatapnya tajam, tidak terlihat senyum. Mukanya kelewat judes. Postur badan yang lebih tinggi darinya dan iya, wajahnya sangat tampan tapi kelihatan galak.
"Nggak belajar sopan santun, ya? Bukannya minta maaf main pergi aja!" ketusnya yang sudah berdiri di hadapan gadis itu.
Dia melirik nametag gadis itu, tatapannya menyorot tajam.
"Maaf, saya buru-buru!"
"Makanya, jangan kesiangan biar nggak telat!" ketusnya.
Gadis itu hanya diam menunduk. Dia tidak ingin mencari masalah di hari pertama MPLS.
"Diandra Adelia Khairunissa, itu nama, lo?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat.
Diandra mengangguk.
"Kamu nggak ada mulut?"
"Ada, Kak!"
"Kenapa nggak nyahut?"
Diandra menghela napas gusar. "Kak, gue udah telat mau buru-buru masuk. Kalau mau marah nanti aja ya, setelah jam istirahat."
Diandra melengos mendekat ke arah lapangan. Dan senior cowok itu kesal sendiri melihat punggung gadis itu berlari menjauh.
"Wah, dia CASIS baru yang pertama berani sama lo. Hebat dia!" ujar temannya yang bernama Kevin. Dia tidak menanggapi dan langsung beranjak pergi.
"Duh, tempatnya udah penuh," gumam Diandra sambil mencari-cari tempat kosong.
Sorot matanya berhenti melihat seorang gadis melambaikan tangan padanya memberi isyarat—di sebelahnya ada yang kosong. Dengan girang, Diandra menuju ke arahnya.
"Hai, makasih, ya!"
"Iya, sama-sama. Gue, Vita!" sapanya mengulurkan tangan.
"Gue, Diandra!"
Penyampaian materi sedang berlangsung dan juga diselipkan dengan pengenalan gedung sekolah.
"Perhatian semua Adik-adik, sebelum istirahat ada yang mau disampaikan oleh Kak ketua OSIS."
Terlihat seorang cowok masuk ke dalam lapangan, satu tangannya dia masukkan ke dalam saku celana.
"Wah, Ketua OSIS ganteng banget!" teriak histeris dari deretan murid perempuan yang duduk paling depan. Dia hanya tersenyum sekilas menampakkan wajah tegasnya.
Hening ... mereka yang tadinya ribut diam seketika.
"Nama gue, Rafasya Dimas Bastian. Panggil aja, Kak Rafa!"
"Waduh, Kak Rafa ganteng banget tapi kayaknya dingin!"
"Wajahnya gemesin, pengen cubit."
"Nggak papa, lah, biar dingin tapi ganteng."
"Alay bat mereka," gumam Diandra merasa risih.
"Tapi, emang Kak Rafa ganteng kok, Dian!" bisik Vita.
Diandra memutar bola matanya jengah. Diandra tidak melihatnya, sejak tadi dia sibuk dengan ponselnya mainin game cacing.