[2024, Januari 28]
Satu setengah jam lamanya Patricia sudah berbicara di telepon, mengeluarkan keluh kesahnya pada Jane. Ia bahkan menangis serta tidak malu menyebutkan semua rahasianya, termasuk kakak perempuannya yang menghalanginya agar tidak menghubungi orang tua mereka lagi.
"Aku harus apa, Cik? Rasanya kaya mau mati," ungkap Patricia dengan sesenggukan.
Jane memijat pelipisnya dan tidak tahu harus bicara apa lagi. Ini adalah masalah yang sama dengan yang dia miliki sejak bertahun-tahun lalu.
"Aku tuh sampai sempat ke psikiater, Cik. Aku didiagnosa sama PTSD." Suara tarikan ingus di hidung terdengar dari seberang. "Capek banget. Udah kerja keras di negara orang, tapi di rumah sendiri ditolak. Mamaku udah nggak mau ketemu sama aku lagi."
"Masa iya sama sekali kamu nggak boleh pulang?"
"Enggak, Cik. Aku bahkan diblok, nggak bisa hubungin siapa-siapa."
"Saudara sepupu atau siapa gitu kek?"
"Malah bikin ribet nanti."
Jane mendesah panjang. Ia sudah memberitahu semua wejangan terbaik yang dimilikinya. Tetapi entah bagaimana, ia merasa bahwa Patricia tidak benar-benar mengikutinya dan membuat perkataannya keluar sia-sia. "Ya udah deh, gini aja. Aku doa buat kamu ya. Habis itu kamu istirahat aja," putusnya, sudah lelah untuk menanggapi sang kawan di pukul sembilan malam itu. Ia mengajak gadis itu berdoa sejenak kemudian selesai.
"Makasih ya, Cik."
Begitu panggilan berakhir, ada sesuatu di dalam hati Jane yang terasa janggal. Ia sampai memegang dadanya, menganalisa apa yang sebenarnya ia rasakan. "Kenapa rasanya doaku balik lagi ke aku ya? Kaya bola yang dilempar, tapi balik lagi karena mantul habis kena tembok," gumamnya, berpikir sejenak. Tetapi kantuknya datang melanda dan membuatnya menguap. "Ah, ya udah lah. Yang penting aku udah lakuin bagianku."
***
[2024, Februari 03]
<>
[Jane] Pat, kamu ada temen Indonesia di Tokyo nggak yang bisa jadi tour guide?
[Patricia] Ada satu, cuma dia nggak bisa tour guide di Tokyo.
[Jane] Bisanya di mana? Ada temenku yang mau libur lebaran di sana, 6-16 April range date ke sana. Lah aku ke Jepang tapi Mei. Karena tiket murah. Nggak bisa lah aku bantu ke sana kalo nggak dibayar. Kamu kan tahu aku baru kena musibah.
[Patricia] Aku ada kenalan orang Indo bisa nganter-nganter, cuma minta dibayar biasanya. Itu udah plus mobil ya. Jadi dia tinggal duduk aja. Wait ya, aku tanyain dulu.
[Jane] Thanks, Pat.
[Patricia] Btw, cik... Boleh telepon? Kamu ini lagi ngajar nggak?
[Jane] Barusan udah kelar kok kelasnya. Gimana?
[Patricia] Mau ngobrol bentar sama ada yang mau kutanyain. Lumayan penting sih.
[Jane] Oh, oke.
<>
Saat ini Jane sedang berada di rumah sendirian. Orang tuanya sedang mengunjungi cucu-cucunya. Biasanya ia akan menyibukkan diri dengan menulis novel atau hanya bersantai dengan menonton film. Sebenarnya ia merasa penat dan enggan untuk menerima panggilan, tetapi ia tipe orang yang tidak merasa tega menghiraukan orang yang memerlukan bantuan.
"Hah, mungkin aku harus belajar nolak," gumamnya pada saat panggilan audio Instagram dari Patricia datang. Dengan satu helaan napas panjang, ia menyentuh tombol hijau di layar gawainya dan menyapa, "Hei, Pat."
"Halo, Cik." Patricia terdengar sangat senang. Ia menanyakan kabar Jane, menceritakan tentang dirinya dan kehidupannya selama setengah jam. "Tahu nggak, Cik? Aku tuh bodoh banget. Sebelum ini aku tuh kan dapet duit lima belas juta. Tapi dalam waktu sekejap bisa hilang."
Jane terbelalak mendengarnya, tak habis pikir bagaimana cerobohnya sang kawan. "Itu dari mana duitnya dan kemana? Bisa-bisanya loh."
"Kamu inget kan, Cik, aku pernah cerita dulu aku kerja di klub malam?"