Unfriended in Japan

Yohana Ekky Tan
Chapter #5

Yang Menimpa — 1

[2024, April 11]

Perkataan wanita dari Instagram yang datang dua minggu lalu itu menjadi sebuah kenyataan yang pahit. Patricia berkhianat. Ia berdalih dengan seribu alasan tak masuk akal sejak hari pertama Bobby dan keluarganya mendarat di Jepang. Mulai dari kabar sang pemandu wisata yang terinfeksi Covid sampai pengalihan akomodasi mendadak ke rumahnya. Padahal semua itu hanyalah alibi untuk menutupi bahwa penginapan tidak dipesan sesuai dengan perjanjian.

Jika bukan karena Jane yang meneror Patricia terus menerus, ia pasti tidak akan datang. Hal itu terbukti nyata dari caranya mencari celah untuk lepas dari Bobby dan keluarganya. Dari pukul lima sore sampai tengah malam waktu Jepang hari ini, gadis itu menelantarkan mama dan adik Bobby di pusat kota. Kedinginan dan keletihan. Dia melanggar janjinya untuk memberikan kunci apartemen yang katanya sudah ia sewakan untuk mereka.

Parahnya, Patricia masih berani terus mengumbar janji palsu meskipun ia tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Dengan liciknya, ia berani untuk terus menjaga komunikasi. Tujuannya adalah untuk bisa berkelit nantinya.

<>

[Jane] Pat, mereka udah cap kamu penipu loh karena nggak nemuin mereka dan kembaliin uangnya. Tolong ketemu sama mereka lagi, dan kasih IC card aku sama Christine ke mereka. TOLONG. Besok kereta terpagi. PLEASE. Atau kalau kamu nggak bisa anter, tolong cancel dan refund semua duit yang sudah Christine dan aku transfer balik ke aku. Aku harus ganti uang mereka. 😭😭😭😭 Kamu tahu aku baru kena musibah, sekarang aku harus ganti duit mereka lagi, yang bahkan melebihi dari musibahku sebelumnya. Jadi please transfer balik duit untuk IC Card, dan penginapan-penginapan yang ada. Kalo kamu udah pesan, harusnya bisa cancel. PLEASE. AKU UDAH HABIS-HABISAN. 11 juta lebih, Pat, masih ditambah punya kak Bob.

[Patricia] Cik Jane, di mana mereka? Ini aku udah nggak ada kereta. Aku terpaksa tidur di internet cafe sini. Aku muter nggak nemu. HP-ku baterainya habis. Ini udah jam setengah 12 lebih. Di mana? Udah mau jam 12 malem. Huhuhu. Aku capek kerja. Aku ngapain nipu? Kemarin aku juga nemuin mereka dan bawa mereka ke rumah loh.

[Jane] Kamu tuh ditunggu terus berjam-jam, Pat. Di Mac yang sama, mereka nggak pindah. Masa kamu nggak nemu gitu loh. Kamu nyari mereka di mana?

<>

Tidak ada balasan lagi dari Patricia. Dia benar-benar berkelit, seakan sudah lihai. Malahan dia menuduh Bobby terus menerus karena lambat berpikir atau bergerak. Jane benar-benar sudah dibuat muak.

Karena hanya bisa memantau dari rumahnya melalui gawainya, Jane terus berkomunikasi dengan Bobby dan keluarganya. Matanya bahkan hampir-hampir copot akibat menghabiskan lebih dari tujuh jam menatap layar. Kepeningan melanda beriringan dengan jantungnya yang terasa tidak baik-baik saja.

"Tuhan, tolong. Tolong." Jane tidak berhenti memohon pada sang Kuasa. Ia sampai terpaksa mengunci kamarnya agar mamanya tidak masuk ke dalam di atas jam sembilan, dengan alasan sekenanya. Yang ia harapkan saat itu adalah sang mama mempercayainya.

***

[2024, Mei 01]

Menjadi pekerja lepas bukan berarti bebas. Jane memang memiliki cukup waktu luang untuk beristirahat, seimbang dengan jam kerjanya. Namun tidak semudah itu untuk dirinya bertualang kemanapun ia mau seperti harapannya. Itulah sebabnya ia mengumpulkan uang untuk berangkat ke Jepang, menghadiahi dirinya sendiri di ulang tahun yang ketigapuluh dua ini.

"Di Jepang kamu harus dapet sesuatu yang bermakna loh, Jane. Cari temen sebanyak-banyaknya. Terus kamu bisa cerita ke mereka tentang kebaikan Tuhan di hidupmu." Begitulah wejangan yang sang mama ketika sedang menunggu kedatangan kereta ke Surabaya.

Jane mengangguk. "Pasti, Ma. Itu nggak mungkin kelewatan. Temen-temenku yang dulu ketemu tahun 2020 juga udah kukontak. Sejak Maret malahan. Kita komunikasi terus kok," balasnya. "Tahu kan, mereka baik banget. Udah kaya temen deket padahal cuman kumpul tiga hari."

Di setiap tempat baru yang dikunjungi, selalu ada satu hal utama yang Jane lakukan terlebih dulu. Mencari sebuah komunitas yang sehat, baik itu melalui gereja maupun klub pertukaran bahasa. Semua dalam rangka membangun persahabatan internasional, sesuai dengan impiannya. Itulah sebabnya ia pernah tidak merasa sendirian meskipun pada saat bepergian sendiri.

Namun kali ini ia pergi dengan Christine yang juga bersemangat untuk dipertemukan dengan teman-teman baru kenalan Jane. Ada perasaannya aman dan nyaman yang menyertai.

"Tapi ini Christine udah sampai mana? Tinggal tiga puluh menit lagi harus naik kereta loh. Coba kamu WA dia," Leanna mengingatkan. Pandangan matanya menelisik ke luar area lobi stasiun.

"Iya, Ma. Barusan juga udah ku-WA. Dia bilang udah hampir deket," jawab Jane menunjukkan layar gawainya pada sang mama tanpa ada rasa panik.

Lihat selengkapnya