[2024, Mei 03]
Sesak. Seperti tidak bisa bernapas.
Ini perasaan yang sama yang pernah Jane dapatkan pada saat berlibur di Australia. Pada saat itu ia merasa ingin pulang ke rumah, karena keadaan yang tidak menyenangkan. Agaknya kejadian serupa terulang kembali. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang.
Demi melupakan firasat buruk yang terus menerus berputar di kepalanya, Jane memutuskan untuk menyegarkan dirinya di lavatory. Ia membawa peralatan yang lengkap dan mencuci wajahnya. Tinggal setengah jam lagi pesawat akan mendarat, karena itulah ia ingin memperbaiki penampilannya agar tampak bagus pada pengambilan foto di imigrasi.
"Liburan yang setahunan lebih cuma jadi wacana akhirnya kesampean ya, Tine." Jane menguap seperti baru terbangun dari tidurnya yang panjang, ketika kembali duduk di kursinya.
Christine yang akhirnya terbangun pun tersenyum lebar meski dengan mata yang masih berat terbuka. "Iya. Aku nggak sabar eksplor seluruh Jepang," sahutnya bersemangat.
"Eh, eh, bagus tuh, Tine, di luar."
Dari jendela tampak Bandara Internasional Narita. Jane mengambil gawainya, tidak ingin kehilangan momen untuk menangkap memori tersebut. Ia berniat menyunting semua video dan foto yang ia ambil untuk diabadikan menjadi pos di sosial medianya.
Ini bukan pertama kalinya datang ke Jepang. Itulah sebabnya Jane merasa yakin bahwa perjalanannya akan aman dan nyaman. Terlebih karena ia sudah meminta bantuan teman lamanya yang sudah menjadi penduduk tetap di Jepang selama sepuluh tahun terakhir.
Selepas pesawat mendarat sekitar pukul enam pagi waktu setempat, semua penumpang turun dan menuju ke dalam bandara. Karena sudah mengisi Visit Japan Web sejak awal, keduanya melewati seluruh proses dengan lancar, meskipun tidak secepat yang diharapkan. Pasalnya, liburan mereka jatuh pada Minggu Emas, di mana banyak turis internasional dan domestik juga berlibur.
"Aku nge-LINE si Patricia dulu ya. Mau kasih tahu kita udah sampe," beritahu Jane sambil mengetik di gawai.
Christine melihat ke sekelilingnya. "Semalem dia bilang nggak bisa ngejar kereta, kan? Terus di grup dia juga bilang bakalan berangkat pakai kereta paling awal dan nyampe sini agak telat. Bisa maklum lah ya. Lagian masih lumayan pagi ini," komentarnya.
“Bukan lumayan pagi sih. Emang pagi, Tine. Jam enam nih,” kekeh Jane, menghiraukan nyeri yang barusan merayap di dadanya, seakan memberikan firasat buruk.
Pada saat yang sama, mereka berjalan menuju ke minimarket terdekat untuk membeli sarapan. Dua roti ham dan keju serta sebotol matcha dan sekotak susu totalnya kurang dari tujuh ratus yen. Inflasi yang terjadi pada mata uang yen rupanya cukup menguntungkan.
Keduanya pun memutuskan untuk menunggu di area Shopping & Dining di Terminal 1. Sambil menikmati sarapan, Christine membuka laptop untuk memeriksa pekerjaan, sementara Jane membaca Alkitab dari gawainya.
Satu jam kemudian, Patricia baru mengabari bahwa ia hendak datang ke bandara. Ia mengaku belum pernah datang ke Bandara Narita melainkan Haneda sehingga dirinya kebingungan.
Pada awalnya Jane dan Christine mencoba untuk tetap memaklumi, tetapi semakin lama mereka semakin merasa ada hal yang ganjil. Patricia membuat mereka menunggu begitu lama sampai kelelahan.
<>
[Jane] Pat, kamu tuh di mana? Lama banget sih sampai dua jam? Udah capek tahu berdiri nungguin deket stasiun metro.
[Patricia] Cik, sori aku kebablasan. Aku muter balik. Maap, maap. Bingung aku tuh.
[Jane] Kan udah aku share location. Kok bisa bingung sih? Alasanmu aneh, tahu nggak? Udah. Gini aja, kamu aja yang gantian share location. Kita aja yang ke sana.
[Patricia] Oke. Aku nunggu di sini ya, cik. *foto*
<>
Adalah beberapa foto tak jelas, serta video Patricia sedang berjalan di bandara. Merasa tidak tahu di mana lokasi restoran yang difoto oleh gadis itu, keduanya memutuskan untuk bertanya pada staf bagian informasi. Namun betapa terkejutnya mereka ketika mendengar bahwa lokasi itu tidak ada di sana melainkan di Bandara Internasional Chubu Centrair.
Lelah dan marah; tapi sayang mereka tidak bisa begitu saja memutus komunikasi. Berulang kali Patricia memberikan berbagai alasan kenapa ia tidak kunjung datang, tetapi semua itu semakin menjadi tidak masuk akal. Penantian mereka yang begitu panjang bahkan bisa dipakai oleh Christine untuk mengikuti pertemuan kerja daring, dari awal sampai akhir.
"Tine, kayanya kita udah bener-bener dipermainin deh. Patricia jahat, jahat banget." Jane memejamkan matanya sambil bersandar pada kursi. Tubuhnya sudah terasa lemas setelah menunggu lebih dari delapan jam di bandara. "Pakai acara HP lowbat lah, disuruh send location berlagak nggak bisa, dan sekarang dia bilang dia di Terminal 2. Dia pikir kita ini bodo apa gimana sih?"