[2024, Mei 13]
Ketiga polisi tersebut mengantarkan Jane dan Christine ke rumah Patricia. Hari sudah pukul delapan malam, kondisi sekitar sudah sangat gelap. Tidak ada musik di dalam mobil, yang mana menciptakan kecanggungan. Untuk sejenak seakan ada dua grup terbentuk, para polisi saling mengobrol sendiri sementara kedua perempuan itu saling berbisik bertukar pikiran di jok paling belakang.
"Maaf, apakah kami juga bisa mendapatkan uang teman kami yang ada di Indonesia dari Patricia?" Christine menyampaikan apa yang ia dan Jane barusan obrolkan.
Ryu menoleh ke belakang dan menjawab, "Sayang sekali, hal itu tidak diperbolehkan. Korban sendiri yang harus bertemu dengan pihak kepolisian untuk dibantu mengurus masalahnya, meskipun kasusnya sama."
Mendengar itu Jane merasa tertekan akibat rasa bersalah telah mengenalkan Patricia pada Bobby. Pandangannya beralih ke luar jendela, pada titik yang tidak jelas.
Dibandingkan dengan jalanan utama, kegelapan lebih pekat ketika mobil sampai di belokan gang di mana apartemen Patricia berada. Polisi yang menyetir mengonfirmasi pada kedua korban, apakah itu tempat yang tepat.
"Ya, betul," Jane dan Christine kompak menjawab, membuat sang polisi yakin untuk menyetir mobil memasuki kompleks itu.
Berbanding terbalik dari Christine yang masih bisa santai, diam-diam dada Jane justru merasa makin sesak. Padahal rencana mereka hanyalah mengembalikan kartu ATM pada pemiliknya yang kemungkinan masih bersembunyi.
Namun siapa sangka pada akhirnya intuisi Jane terbukti benar? Mobil Patricia terparkir di tempatnya, tanda ia dan sang suami ada di rumah.
"Itu mobil Patricia." Jane menunjuk ke luar, tepat pada sebuah sedan putih yang ada di kotak pertama pada lahan parkir.
Perlahan mobil diparkirkan di area dalam apartemen. Agaknya para polisi hendak mengubah strategi. Mereka bertiga segera turun dari mobil.
Sebelum Jane dan Christine turut keluar, Ryu berkata, "Kalian tunggu di sini dulu ya. Biar kami yang berbicara dengan mereka." Ia menutup pintu segera setelah mendapat anggukan dari kedua wanita yang duduk di jok paling belakang itu.
Para polisi mendekati unit 102 dan menghilang di balik pintunya. Pemandangan ini menambah debaran jantung Jane yang emosinya mulai muncul ke permukaan.
"Ya Tuhan, mimpi apa kita semalam? Sekarang kita kaya di drama Korea ya, Jane." Christine tertawa miris.
Jane terkekeh lemah, kemudian mengaku, "Tine, aku kayanya udah nggak kuat. Kepingin nangis." Suaranya mulai sedikit goyah, saraf matanya terasa mengencang, dan akhirnya tetesan air menembus keluar melalui kedua ekor matanya.
Dalam penerangan yang sangat redup, ada rasa iba yang nampak pada wajah Christine. "Udah, keluarin aja semuanya, Jane. Nggak papa. Emang nggak boleh dipendam," anjurnya.
"Aku paling nggak suka ngadepin konflik sama temen, Tine. Apalagi kalau sampai harus kehilangan pada akhirnya." Dengan air mata yang ditahan agar tidak sampai tertumpah, Jane mengungkapkan sedikit bagian dari kepribadiannya. "Tapi udah pasti habis ini aku putus hubungan sama Patricia dan ngeblok dia dari semua kontak."
Christine tersenyum simpul, bisa merasakan apa yang temannya ini rasakan. Ia memutuskan untuk diam, memberikan sedikit waktu bagi Jane untuk memproses semuanya.
Di tengah keheningan sejenak, tiba-tiba Ryu kembali muncul dan membuka pintu. "Jane, Patricia menelepon kamu. Bisa jawab?" pintanya.
Jane yang masih belum sepenuhnya berhasil mengendalikan emosi menyahut, "Nggak ada telepon masuk." Ia menunjukkan gawainya pada polisi muda itu.